Suku Melayu

etnis yang berasal dari Asia Tenggara
(Dialihkan dari Orang Melayu)
Ini adalah versi stabil, diperiksa pada tanggal 17 September 2024. Ada 3 perubahan tertunda menunggu peninjauan.

Suku Melayu (bahasa Melayu: Orang Melayu, Jawi: أورڠ ملايو) adalah salah satu kelompok etnis di wilayah Austronesia yang menempati wilayah pesisir timur Sumatra, Semenanjung Malaka, dan beberapa wilayah di Kalimantan. Selain itu, kelompok etnis ini juga dapat dijumpai di pulau-pulau kecil yang tersebar diantara wilayah besar tersebut. Wilayah-wilayah persebaran ini seringkali disebut sebagai dunia Melayu. Wilayah-wilayah tersebut pada masa sekarang merupakan bagian dari negara Malaysia, Indonesia (Sumatra bagian timur dan selatan, serta pesisir pantai Kalimantan), bagian selatan Thailand (Pattani, Satun, Songkhla, Yala, dan Narathiwat), Singapura, dan Brunei Darussalam.

Suku Melayu
Orang Melayu
اورڠ ملايو
Sepasang suami-istri dalam setelah melakukan upacara akad nikah (prosesi pernikahan). Pengantin laki-laki mengenakan baju melayu yang dipasangkan dengan songkok dan songket, sementara pengantin perempuan mengenakan baju kurung dengan sebuah hijab.
Jumlah populasi
± 27.000.000
Daerah dengan populasi signifikan
Dunia Melayuca 27 juta
Malaysia Malaysia15.479.600
Indonesien Indonesien8.753.791[1]
Thailand Thailand2.150.950[2]
Singapura Singapura811,209[3]
Brunei Brunei314.560[4]
Liga Arab Dunia Arab~50.000[5][6]
Australien Australien33.183[7]
Britania Raya Britania Raya~33.000[8]
Amerika Serikat Amerika Serikat29.431[9]
Myanmar Myanmar~27.000[10]
Kanada Kanada16.920[11]
Bahasa
Mayoritas
Melayu
Agama
Mayoritas
Islam
Kelompok etnik terkait
Bangsa Austronesia terkait

a Beberapa data mungkin menunjukkan bahwa resipien merupakan orang dengan ras/suku/genetika campuran, tetapi dapat berbicara dalam bahasa Melayu, sehingga mereka dimasukkan ke dalam data.
Bendera Triwarna Melayu yang menunjukkan identitas orang Melayu

Terdapat beberapa perbedaan unsur bahasa, kebudayaan, kesenian, dan keberagaman sosial diantara sub-kelompok turunan dari bangsa Melayu. Hal ini dikarenakan suku Melayu inti menyebar ke berbagai penjuru wilayah dunia Melayu, sehingga terjadi asimilasi sub-kelompok turunan Melayu dengan beberapa kelompok etnis daerah tertentu di wilayah Asia Tenggara Maritim. Secara historis, populasi suku Melayu merupakan turunan langsung dari orang-orang suku Austroasiatik Austronesia yang menuturkan bahasa-bahasa Melayik yang menjalin kontak dan perdagangan dengan kerajaan, kesultanan, ataupun pemukiman tertentu (terutama dengan kerajaan Brunei, Kedah, Langkasuka, Gangga Negara, Chi Tu, Nakhon Si Thammarat, Pahang, Melayu dan Sriwijaya.)[12][13]

Perkembangan dan pendirian Kesultanan Malaka pada abad ke-15 menyebabkan revolusi besar-besaran pada sejarah bangsa Melayu. Hal tersebut terjadi karena kesultanan tersebut membawa perubahan yang sangat signifikan pada tata kebudayaan dan kesultanan tersebut meraih kejayaan pada masa tersebut.

Menurut catatan sejarah, suku Melayu telah dikenal sebagai komunitas pedagang lintas perairan dengan karakteristik budaya yang dinamis.[14][15] Mereka dapat menyerap, berbagi, dan menyalurkan sekian banyak keunikan kebudayaan dari kelompok etnik lain, seperti kebudayaan Minang dan Aceh.

Etimologi

sunting
Lukisan cat air Portugis dari orang Melayu di Malaka, sekitar tahun 1540, ditampilkan dalam Códice Casanatense
Ilustrasi pasangan Melayu, dari Reise nach Batavia, antara tahun 1669 dan 1682
Tari Joget yang berasal dari masa Kesultanan Malaka, banyak dari aspek budaya Melayu berasal dari wilayah Malaka

Kata Melayu pada awalnya merupakan nama tempat (toponim), yang merujuk pada suatu lokasi di Sumatra. Setelah abad ke-15 istilah Melayu mulai digunakan untuk merujuk pada nama suku (etnonim).[16]:3

Sastra Sejarah Melayu, mengaitkan asal etimologis "Melayu" dengan sebuah sungai kecil bernama Sungai Melayu di Sumatra, Indonesia. Epos tersebut salah menyebutkan bahwa sungai tersebut mengalir ke Sungai Musi di Palembang, padahal kenyataannya ia mengalir ke Sungai Batang Hari di Jambi.[17]:298 Beberapa orang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari sebuah kata yang berasal dari bahasa Melayu, yakni "melaju" yang berasal dari awalan 'me' dan akar kata 'laju', yang menggambarkan kuatnya arus pada sungai tersebut.[18]

 
Candi Muaro Jambi di Jambi, dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Melayu pra-Islam. Candi-candi biasanya dibangun di tengah-tengah pusat kerajaan

Sebagai nama tempat (toponim)

sunting

Istilah "Melayu" dan pelafalan serupa sejak abad ke-15 merupakan sebuah toponim kuno yang pada umumnya mengacu pada daerah-daerah di selat Malaka.[19]

 
Tengku Abdu Aziz, Pangeran dari Terengganu yang mengenakan busana khas Melayu formal pada masa itu (sekitar 1920)
  • Malaya Dwipa, "Malaya Dwipa", seperti yang tertera dalam bab 48 Bayupurana, wilayah Malaka merupakan sebuah provinsi di laut timur yang sangat kaya akan emas dan perak. Beberapa ahli juga memasukkan daerah Sumatra ke dalam istilah tersebut.[20] Akan tetapi, para ahli dari India menyakini bahwa istilah ini hanya merujuk pada semenanjung Melayu yang terdiri atas banyak pegunungan, sementara Sumatra lebih merujuk kepada penggambaran di dalam Suvarnadvipa. [21][22][23][24][25]
  • Maleu-kolon – sebuah lokasi di Semenanjung Emas, yang tertera di dalam karya Klaudius Ptolemaeus (90–68 M), Geographia mencatat sebuah tanjung di Aurea Chersonesus (Semenanjung Melayu) yang bernama Maleu-kolon, yang diyakini berasal dari Bahasa Sanskerta, malayakolam atau malaikurram.[26] [27]
  • Mo-lo-yu – seperti yang disebutkan oleh Yijing, seorang biarawan Buddha aliran Tiongkok dari dinasti Tang yang berkunjung ke Asia tenggara pada tahun 688–695. Menurut Yijing, kerajaan "Mo-Lo-Yu" berjarak 15 hari pelayaran dari Bogha (Palembang), ibu kota Sribhoga (Sriwijaya). Kerajaan tersebut juga berjarak 15 hari pelayaran dari Ka-Cha (Kedah), sehingga dapat dikarakan bahwa kerajaan Mo-Lo-Yu terletak di tengah-tengah jarak antara keduannya.[28] Teori populer mengaitkan keberadaan "Mo-Lo-Yu" dengan situs Candi Muaro Jambi di Sumatra,[29] akan tetapi letak Jambi sangat bertentangan dengan pernyaraan Yi Jinh yang menyatakan bahwa ia terletak di tengah-tengah Ka-Cha (Kedah) dengan Bogha (Palembang)". Diantara masa akhir dinasti Yuan (1271–1368) dengan masa awal dinasti Ming (1368–1644), kata Ma-La-Yu seringkali disebut di dalam teks-teks kuno Tiongkok untuk menyebutkan wilayah yang terletak di laut selatan. Meskipun begitu, ejaan untuk menyebutkan "Ma-La-Yu" berbeda-beda karena adanya pergantian dinasti ataupun intervensi pengguna bahasa-bahasa Tionghoa, akan tetapi "Bôk-lá-yù", "Mók-là-yū" (木剌由), Má-lì-yù-er (麻里予兒), Oō-laì-yu (巫来由) merupakan istilah yang sering digunakan menurut catatan tertulis dari biarawan Xuanzang) dan Wú-laī-yû (無来由).

Orang Gunung

sunting

Pada Bab 48 teks agama Hindu Vuya Purana yang berbahasa Sanskerta, kata Malayadvipa merujuk kepada sebuah provinsi di pulau yang kaya emas dan perak. Di sana berdiri bukit yang disebut dengan Malaya yang artinya sebuah gunung besar (Mahamalaya). Meskipun begitu banyak sarjana Barat, antara lain Sir Roland Braddell menyamakan Malayadvipa dengan Sumatra.[30] Sedangkan para sarjana India percaya bahwa itu merujuk pada beberapa gunung di Semenanjung Malaya.[31][32][33][34][35]

Kerajaan Malayu

sunting

Dari catatan Yi Jing, seorang pendeta Buddha dari Dinasti Tang, yang berkunjung ke Nusantara pada tahun 688–695, dia menyebutkan ada sebuah kerajaan yang dikenal dengan Mo-Lo-Yu (Melayu), yang berjarak 15 hari pelayaran dari Sriwijaya. Dari Ka-Cha (Kedah), jaraknya pun 15 hari pelayaran.[36] Berdasarkan catatan Yi Jing, kerajaan tersebut merupakan negara yang merdeka dan akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya.

Berdasarkan Prasasti Padang Roco (1286) di Sumatera Barat, ditemukan kata-kata bhumi malayu dengan ibu kotanya di Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malayu dan Sriwijaya yang telah ada di Sumatra sejak abad ke-7. Kemudian Adityawarman memindahkan ibu kota kerajaan ini ke wilayah pedalaman di Pagaruyung.

Petualang Venesia yang terkenal, Marco Polo dalam bukunya Travels of Marco Polo menyebutkan tentang Malauir yang berlokasi di bagian selatan Semenanjung Melayu. Kata "Melayu" dipopulerkan oleh Kesultanan Malaka yang digunakan untuk membenturkan kultur Malaka dengan kultur asing yakni Jawa dan Thai.[16]:4 Dalam perjalanannya, Malaka tidak hanya tercatat sebagai pusat perdagangan yang dominan, namun juga sebagai pusat peradaban Melayu yang berpengaruh luas.[37]

Sebagai nama suku (etnonim)

sunting

Sastra Melayu Klasik menggambarkan suku Melayu dengan arti lebih sempit daripada interpretasi modern. Hikayat Hang Tuah (sekitar tahun 1700, manuskrip sekitar 1849) hanya mengidentifikasi suku Melayu sebagai subjek Kesultanan Malaka; Brunei pada waktu itu tidak dianggap Melayu. Hikayat Patani (sekitar 1876) tidak menyebut Patani dan Brunei sebagai Melayu, istilah itu hanya digunakan untuk Johor. Kedah tidak dimasukkan sebagai suku Melayu dalam Hikayat Kedah/Hikayat Merong Mahawangsa (sekitar 1821). Hikayat Aceh (sekitar 1625, manuskrip yang ada sekitar 1675) menghubungkan etnis Melayu dengan Johor, tapi tidak menyebut Aceh atau Deli sebagai Melayu.[38][39]

Asal-usul

sunting
 
Sekelompok orang dari Brunei Darussalam yang mengenakan busana berjenis Cekak Musang, yang dikenakan dengan songket (paling kiri) dan kain sarung.

Proto-Melayu

sunting

Melayu asli atau yang juga dijuluki sebagai Melayu purba atau Proto-Melayu, adalah sekelompok suku dan bangsa yang memiliki asal-usul Austronesia dan diperkirakan telah bermigrasi menuju Kepulauan Melayu dalam kurun waktu periode yang cukup lama, yakni antara tahun 2500 sampai 1500 sebelum Masehi.[40] Masih terdapat sisa-sisa keturunan Proto-Melayu yang masih terlihat kental hingga saat ini, salah satunya adalah suku Moken, Jakun, Orang Kuala, Temuan, dan Orang Kanaq.[41] The Encyclopedia of Malaysia: Early History (bahasa Indonesia: Ensiklopedia Malaysia: Sejarah pada Masa Awal) menyebutkan tiga teori mengenai asal-usul bangsa Melayu yang telah dikenal:

  • Teori Yunnan (diterbitkan tahun 1889) menjelaskan bahwa bangsa Proto-Melayu ber melalui sepanjang aliran sungai Mekong. Teori Proto-Melayu yang dikemukakan oleh Yunnan tersebut didukung oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slamet Muljana dan Asmah Haji Umar. Bukti lain yang mendukung teori ini antara lain: alat-alat batu yang ditemukan di Kepulauan Melayu dianalogikan dengan alat-alat Asia Tengah, kesamaan adat Melayu dan adat di daerah Assam.
  • Teori Taiwan (diterbitkan pada tahun 1997) menjelaskan bahwa migrasi dilakukan sekelompok orang dari Tiongkok Selatan sudah terjadi semenjak 6.000 tahun yang lalu. Beberapa diantaranya bermigrasi ke Taiwan (pribumi Taiwan), dan kemudian ke Filipina dan kemudian ke Kalimantan (kira-kira 4.500 tahun yang lalu) (pada masa sekarang, keturunan langsung yang dapat ditemui adalah Dayak dan kelompok lainnya). Kemudian, beberapa diantaranya berpisah lagi menuju wilayah lain seperti Sulawesi dan yang lainnya berkembang ke Jawa, dan Sumatera. Migrasi tersebut menyebabkan semua suku-suku turunan berbicara dalam bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Migrasi terakhir adalah ke Semenanjung Malaya sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sebuah sub-kelompok dari Kalimantan bermigrasi ke Champa (pada masa kini merupakan bagian dari wilayah Vietnam bagian Tengah dan Selatan) sekitar 4.500 tahun yang lalu. Ada juga jejak migrasi Dong Son dan Hoabinh dari Vietnam dan Kamboja.[42]

Deutro-Melayu

sunting
 
Dua orang perempuan dari Palembang yang sedang mengenakan pakaian adat, yakni Baju Kurung yang berasal dari helaian Songket. Pakaian ini biasanya sering dipakai ataupun dikaitkan dengan kebiasaan berbusana masyarakat perempuan Melayu.

Deuter-Melayu merupakan istilah yang mengacu pada orang-orang zaman besi yang sebagian besar merupakan turunan dari bangsa Austronesia yang memiliki teknik pertanian yang lebih maju dan pengetahuan baru tentang logam.[43][44][45] Tidak seperti pendahulu mereka, orang-orang Deutro-Melayu sudah tidak melakukan sistem nomaden. Mereka menetap dan mendirikan kampung yang berfungsi sebagai unit utama dalam masyarakat. Kampung-kampung ini biasanya terletak di tepi sungai atau daerah pesisir. Pada akhir abad terakhir SM, kampung-kampung ini mulai melakukan perdagangan dengan dunia luar.[46] Masyarakat Deutro-Melayu dianggap sebagai nenek moyang langsung dari bangsa Melayu yang ada pada saat ini.[47]

Penyebaran dari wilayah Sundaland

sunting

Sebuah teori yang lebih baru menyatakan bahwa penduduk Proto-Melayu Asia Tenggara Maritim tidak berasal dari Asia daratan, melainkan para penduduk tersebut memang sudah ada sejak zaman es di semenanjung Melayu, kepulauan tetangga Indonesia, dan paparan daratan yang luas (Sundaland). Penduduk di wilayah tersebut berkembang secara lokal dari pemukim manusia pertama dan menyebar hingga ke Asia daratan. Pendukung teori ini berpendapat bahwa persebaran ini memberikan penjelasan yang jauh lebih sulit daripada bukti linguistik, arkeologi, dan antropologis daripada model teori persebaran yang sebelumnya, khususnya model Taiwan.[48] Teori ini juga mendapat dukungan dari bukti genetik yang ditemukan oleh Organisasi Genom Manusia yang menunjukkan bahwa penduduk di Asia Daratan berasal dari satu jalur migrasi tunggal melalui Asia Tenggara. Rute ini kemudian dianggap sebagai daerah Melayu modern. Persebaran itu sendiri mungkin didorong oleh naiknya permukaan laut pada akhir Zaman Es.[49][50]

Pemrakarsa Stephen Oppenheimer telah lebih lanjut berteori bahwa persebaran penduduk dari wilayah yang mulai tergenang terjadi dalam tiga gelombang cepat karena naiknya permukaan laut pada akhir Zaman Es. Persebaran ini juga turut menyebarkan kebudayaan, mitologi, dan teknologi bukan hanya ke daratan Asia Tenggara, tetapi sampai India, Asia Tengah, dan Mediterania melalui para penduduk diaspora.[51][52][53]

Bukti genetik

sunting

Suku Melayu adalah sebuah kelompok etnis yang menuturkan bahasa-bahasa Austronesia dan mendiami wilayah Asia Tenggara Maritim dan Semenanjung Melayu. Sebuah penelitian yang diadakan pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa garis keturunan Basal-Asia Timur yang khas (biasanya juga disebut sebagai "Garis keturunan Asia Timur dan Tenggara"; bahasa Inggris: East- and Southeast Asian lineage (ESEA)), yang merupakan nenek moyang orang Asia Timur dan Asia Tenggara pada masa sekarang, Polinesia, dan Siberia, berasal dari Asia Tenggara Daratan pada kurun waktu sekitar 50.000 SM. Kemudian masing-masing dari mereka menyebar melalui beberapa gelombang migrasi ke arah selatan dan utara. Leluhur Basal-Asia Timur, serta nenek moyang Austroasiatik terkait kemudian menyebar ke Asia Tenggara Maritim sebelum ekspansi dataran Austronesia. Penutur Austronesia sendiri diperkirakan telah tiba di Taiwan dan Filipina utara antara kurun waktu 10.000 SM hingga 7.000 SM dari pesisir selatan Tiongkok, dan menyebar dari sana ke seluruh Asia Tenggara Maritim. Para peneliti menyimpulkan bahwa persebaran bangsa Austronesia ke Asia Tenggara Maritim dan Polinesia lebih cenderung berasal dari wilayah Filipina daripada Taiwan, sehingga orang-orang berbahasa Austronesia modern, seperti suku Melayu, sebagian besar memiliki nenek moyang Basal-Timur Asia dari periode paling awal dengan tanpa banyak campuran ras seiring berjalannya waktu.[54][55]

Sejarah

sunting

Pengaruh India

sunting
 
Chedi Phra Borommathat, sebuah stupa yang terletak di Nakhon Si Thammarat, Thailand. Candi ini menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan Tambralingga, kerajaan Buddha yang kuat yang berhasil menaklukkan Kerajaan Jaffna di Sri Lanka.

Tidak ada bukti pasti yang menunjukkan kapan tepatnya pelayaran pertama dari India melintasi Teluk Benggala, tetapi perkiraan konservatif menempatkan kedatangan awal di pantai-pantai Melayu setidaknya 2.000 tahun yang lalu. Penemuan sisa-sisa dermaga, situs peleburan besi, dan monumen bata tanah liat yang berasal dari tahun 110 Masehi di Lembah Bujang, menunjukkan bahwa jalur perdagangan maritim dengan kerajaan-kerajaan Tamil di India Selatan telah terjalin sejak abad kedua.[56]

Pertumbuhan perdagangan dengan India membawa masyarakat pesisir di sebagian besar kawasan maritim Asia Tenggara ke dalam kontak dengan agama-agama besar seperti Hinduisme dan Buddhisme. Di seluruh wilayah ini, pengaruh terbesar diberikan oleh India, yang memperkenalkan arsitektur, seni pahat, penulisan, monarki, agama, besi, kapas, dan berbagai elemen budaya tinggi lainnya. Agama-agama India, tradisi budaya, dan Sanskerta mulai menyebar ke seluruh wilayah. Kuil Hindu dibangun dengan gaya India, para raja lokal mulai menyebut diri mereka sebagai "raja", dan unsur-unsur pemerintahan India yang lebih diinginkan diadopsi.[57]

Awal Masehi menandai munculnya kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah pesisir Sumatra dan Semenanjung Melayu; seperti Sriwijaya, Kerajaan Nakhon Si Thammarat, Gangga Negara, Langkasuka, Kedah, Pahang, Kerajaan Melayu dan Chi Tu. Antara abad ke-7 dan ke-13, banyak dari kerajaan-kerajaan kecil yang makmur di semenanjung dan Sumatra ini menjadi bagian dari mandala Sriwijaya,[58] sebuah konfederasi besar negara-kota yang berpusat di Sumatra.[59][60][59] Pada awal periode ini, penyebutan pertama yang diketahui tentang kata "Melayu" ditemukan dalam sumber-sumber Tiongkok pada tahun 644 Masehi. Kemudian pada pertengahan abad ke-14, kata Melayu telah diakui sebagai kelompok orang yang berbagi warisan, adat istiadat, dan bahasa yang sama.[61]

Pengaruh Sriwijaya menyebar ke seluruh wilayah pesisir Sumatra, Semenanjung Melayu, bagian barat Jawa dan barat Kalimantan, serta seluruh Kepulauan Melayu. Mendapat dukungan dari India dan Tiongkok, kekayaan Sriwijaya sebagian besar diperoleh melalui perdagangan. Pada puncaknya, Bahasa Melayu Kuno digunakan sebagai bahasa resminya dan menjadi bahasa pengantar di wilayah tersebut, menggantikan Sanskerta, bahasa Hinduisme.[57] Era Sriwijaya dianggap sebagai masa keemasan budaya Melayu.

Namun, kejayaan Sriwijaya mulai menurun setelah serangkaian serangan oleh Dinasti Chola Tamil pada abad ke-11. Setelah jatuhnya Sriwijaya pada tahun 1025 Masehi, Kerajaan Melayu Jambi di Sumatra menjadi negara Melayu yang paling dominan di wilayah tersebut.[62] Pada akhir abad ke-13, sisa-sisa kerajaan Melayu di Sumatra akhirnya dihancurkan oleh para penyerbu orang Jawa selama ekspedisi Pamalayu (Pamalayu berarti "perang melawan orang Melayu").[63]

Pada tahun 1299, dengan dukungan dari Orang laut yang setia kepada kekaisaran, seorang pangeran Melayu dari Palembang, Sang Nila Utama mendirikan Kerajaan Singapura di Temasek.[64] Dinastinya memerintah kerajaan pulau tersebut hingga akhir abad ke-14, ketika negara Melayu sekali lagi menghadapi serangan dari para penyerbu Jawa. Pada tahun 1400, cicitnya, Parameswara, bergerak ke utara dan mendirikan Kesultanan Malaka.[65] Kerajaan baru ini menggantikan Sriwijaya dan mewarisi banyak tradisi kerajaan dan budaya, termasuk sebagian besar wilayah pendahulunya.[66][67][68]

 
Garis waktu ekspansi Sriwijaya dari Palembang antara abad ke-7 hingga abad ke-13; negara ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Melayu sebelum akhirnya jatuh. Pada abad ke-14, seorang pangeran asal Palembang, Parameswara, kemudian mendirikan Kesultanan Malaka, membawa tradisi dan identitas istana Palembang ke dalam negara baru tersebut.

Di utara semenanjung, kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh runtuhnya Sriwijaya diisi oleh pertumbuhan kerajaan Tambralingga pada abad ke-12. Antara abad ke-13 hingga awal abad ke-14, kerajaan ini berhasil menguasai sebagian besar Semenanjung Melayu di bawah kendalinya. Kampanye yang dipimpin oleh Chandrabhanu (1230–1263) berhasil merebut Kerajaan Jaffna di Sri Lanka antara tahun 1247 hingga 1258. Dia akhirnya dikalahkan oleh pasukan dari Dinasti Pandya di Tamil Nadu pada tahun 1263 dan dibunuh oleh saudara Kaisar Jatavarman Sundara Pandyan.[69] Penyerbuan ini merupakan peristiwa luar biasa dalam sejarah Asia Tenggara, karena merupakan satu-satunya ekspedisi maritim bersenjata di luar wilayah tersebut.

Sistem politik Melayu juga menyebar di luar wilayah tradisional Sumatra-Semenanjung selama era ini. Masa ini ditandai dengan eksplorasi dan migrasi orang Melayu untuk mendirikan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Sriwijaya tradisional. Beberapa contohnya adalah penobatan seorang pangeran Tambralingga untuk memerintah Kerajaan Lavo di Thailand Tengah saat ini, pendirian Kerajaan Cebu di Visayas, dan pendirian Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat, Borneo. Ekspansi ini juga membentuk perkembangan etnogenesis dari suku Aceh dan suku Banjar, serta memperluas ethos Melayu yang dipengaruhi India di wilayah tersebut.

Islamisasi

sunting
 
Monumen persaudaraan "Dayak-Melayu" di Museum Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, Indonesia

Periode abad ke-12 hingga ke-15 menyaksikan kedatangan Islam dan kebangkitan kota pelabuhan besar Melaka di pesisir barat daya Semenanjung Melayu[70] — dua perkembangan besar yang mengubah arah sejarah Melayu.

Kepercayaan Islam tiba di wilayah yang sekarang dikenal sebagai negara bagian Kedah, Perak, Kelantan, dan Terengganu, sekitar abad ke-12.[71] Bukti arkeologis paling awal dari Islam di Semenanjung Melayu adalah Batu Bersurat Terengganu dari abad ke-14 yang ditemukan di negara bagian Terengganu, Malaysia.[70]

Pada abad ke-15, Kesultanan Melaka, yang hegemoninya meluas ke sebagian besar wilayah barat Kepulauan Melayu, telah menjadi pusat Islamisasi di timur. Sebagai agama negara Kesultanan Melaka, Islam membawa banyak transformasi besar ke dalam masyarakat dan budaya Melaka, serta menjadi instrumen utama dalam evolusi identitas Melayu bersama. Era Melaka menunjukkan eratnya hubungan Islam dengan masyarakat Melayu dan bagaimana ia berkembang menjadi penanda definitif identitas Melayu.[13][72][73][74] Seiring waktu, idiom budaya Melayu yang umum ini berkembang menjadi ciri khas sebagian besar Kepulauan Melayu melalui proses Malayisasi. Ekspansi pengaruh Melaka melalui perdagangan dan Dakwah membawa serta bahasa Melayu Klasik,[75] kepercayaan Islam,[76] dan budaya Melayu Muslim;[77] tiga nilai inti dari Kemelayuan ("Ke-Melayu-an").[78]

Pada tahun 1511, ibu kota Melaka jatuh ke tangan penakluk Portugis. Namun, Melaka tetap menjadi prototipe kelembagaan: sebuah paradigma kenegaraan dan titik referensi budaya bagi negara penerus seperti Kesultanan Johor (1528–sekarang), Kesultanan Perak (1528–sekarang), Kesultanan Pahang (1470–sekarang), Kesultanan Siak Sri Indrapura (1725–1946), Kesultanan Pelalawan (1725–1946), dan Kesultanan Riau-Lingga (1824–1911).[79]

 
Luas Kesultanan Melaka pada abad ke-15, warisan istana Melaka terlihat kuat dalam konstruksi kerangka sosiokultural Melayu hingga hari ini.

Di seberang Laut Cina Selatan pada abad ke-14, kerajaan Melayu lainnya, Kekaisaran Brunei sedang bangkit menjadi kerajaan paling kuat di Kalimantan. Pada pertengahan abad ke-15, Brunei menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Melaka. Sultan Brunei menikahi seorang putri Melaka, mengadopsi Islam sebagai agama istana, dan memperkenalkan administrasi yang efisien yang meniru Melaka.[80] Brunei mendapat keuntungan dari perdagangan dengan Melaka, tetapi memperoleh kemakmuran yang lebih besar setelah pelabuhan besar Melayu tersebut ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Brunei mencapai masa kejayaannya pada pertengahan abad ke-16 ketika menguasai wilayah hingga sejauh selatan Kuching saat ini di Sarawak, ke utara menuju Kepulauan Filipina.[81] Kekaisaran Brunei memperluas pengaruhnya di Luzon dengan mengalahkan Datu Gambang dari Kerajaan Tondo dan mendirikan negara satelit Kota Seludong di wilayah Manila saat ini, menempatkan Rajah Muslim, Rajah Sulaiman I sebagai pengikut Kesultanan Brunei. Brunei juga memperluas pengaruhnya di Mindanao, Filipina ketika Sultan Bolkiah menikahi Leila Macanai, putri dari Sultan Sulu. Namun, beberapa kerajaan seperti Kerajaan Pangasinan, Kerajaan Cebu dan Kedatuan Madja-as berusaha menolak penyebaran Brunei dan Islam ke Filipina. Kehadiran pemerintahan berbasis sungai yang cukup longgar di Kalimantan memproyeksikan proses Malayisasi.

Kesultanan Melayu penting lainnya adalah Kesultanan Kedah (1136–sekarang), Kesultanan Kelantan (1411–sekarang), Kesultanan Pattani (1516–1771), Kerajaan Reman (1785–1909) dan Kerajaan Legeh (1755–1902) yang mendominasi bagian utara Semenanjung Melayu. Kesultanan Jambi (1460–1907), Kesultanan Palembang (1550–1823), dan Kesultanan Indragiri (1298–1945) menguasai sebagian besar pantai tenggara Sumatra. Kesultanan Deli (1632–1946), Kesultanan Serdang (1728–1948), Kesultanan Langkat (1568–1948), dan Kesultanan Asahan (1630–1948) memerintah Sumatra bagian timur. Sementara Kalimantan Barat menyaksikan kebangkitan Kesultanan Pontianak (1771–1950), Kesultanan Mempawah (1740–1950), dan Kesultanan Matan (1590–1948).

Budaya

sunting

Bahasa

sunting
 
Gambar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis dalam Aksara Pallawa. Prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada 683, sehingga menjadikannya salah satu artefak tertulis tertua yang dibuat bangsa Melayu dan masih ada hingga saat ini.

Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa utama dunia dan diturunkan dari rumpun bahasa Austronesia. Ragam dan dialek bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi di Brunei, Malaysia, Indonesia dan Singapura. Bahasa tersebut juga digunakan di Thailand bagian selatan, Kepulauan Cocos, Pulau Natal, dan Sri Lanka. Bahasa ini memiliki penutur jati sekitar 33 juta orang di seluruh Kepulauan Melayu dan digunakan sebagai bahasa kedua oleh sekitar 220 juta orang.[82]

Bentuk bahasa Melayu tertua diturunkan dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia yang dituturkan oleh pemukim Austronesia paling awal di Asia Tenggara. Bentuk ini kemudian berkembang menjadi Bahasa Melayu Kuno ketika budaya dan agama India mulai merambah wilayah tersebut. Bahasa Melayu Kuno mengandung beberapa istilah yang bertahan hingga hari ini, akan tetapi struktur bahasanya sendiri tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa Melayu Modern. Bentuk awal dari bahasa Melayu Modern sebagian besar sudah dapat dikenali dari bahasa Melayu Klasik tertulis, yang bentuk tertuanya berasal dari tahun 1303 Masehu.[83] Bahasa Melayu berkembang secara ekstensif menjadi Bahasa Melayu Klasik melalui masuknya sejumlah kosakata bahasa Arab dan Persia secara bertahap, ketika Islam masuk ke wilayah tersebut. Awalnya, Melayu Klasik adalah kelompok dialek yang beragam dan mencerminkan asal-usul beragam kerajaan Melayu di Asia Tenggara, akan tetapi pada abad ke-15, salah satu dialek yang berkembang dalam tradisi sastra Kesultanan Malaka menjadi dialek yang lebih dominan ketimbang dialek lain.

Era Malaka ditandai dengan transformasi bahasa Melayu menjadi bahasa bernuansa Islam, seperti halnya bahasa Arab, Persia, Urdu, dan Swahili. Abjad Arab kemudian diadaptasi untuk menulis bahasa Melayu yang disebut sebagai Abjad Jawi digunakan untuk menggantikan aksara India. Selain itu, istilah agama dan budaya Islam diserap kedalam bahasa Melayu, sehingga membuang banyak kata-kata bercorak Hindu-Budha, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar dan penyebaran Islam di seluruh Tenggara wilayah Asia. Pada puncak kekuasaan Kesultanan Malaka pada abad ke-15, bahasa Melayu Klasik menyebar ke luar dunia berbahasa Melayu tradisional[84] sehingga menyebabkan bahasa Melayu menjadi sebuah basantara di wilayah tersebut.[85] Secara umum diyakini bahwa bahasa Melayu Dagang dan Kreolnya adalah bagian perkembangan terpenting dalam bahasa Melayu, sehingga menciptakan beberapa bahasa baru seperti Bahasa Melayu Ambon, Melayu Manado, dan juga Bahasa Betawi.[86]

Para penulis Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, seperti Tavernier, Thomassin dan Werndly menggambarkan bahasa Melayu sebagai "bahasa orang terpelajar di seluruh Hindia, seperti layaknya Latin di Eropa".[87] Bahasa tersebut juga merupakan bahasa yang paling banyak digunakan selama era kolonial Inggris dan Belanda di Kepulauan Melayu.[88]

Dialek Kesultanan Johor yang merupakan turunan langsung dari dialek Malaka menjadi bahasa baku di kalangan orang Melayu di Singapura dan Malaysia, dan menjadi dasar asli untuk bahasa baku di Indonesia, yakni Bahasa Indonesia.[84][89][90][91]

Selain bahasa Melayu baku yang berkembang di wilayah Malaka-Johor, terdapat berbagai dialek Melayu lokal. Misalnya, bahasa Melayu Bangka, Melayu Brunei, Melayu Jambi, Melayu Kelantan, Melayu Kedah, Melayu Negeri Sembilan, Melayu Palembang, Melayu Pattani, Melayu Sarawak, Melayu Terengganu, dan masih banyak lagi.

Bahasa Melayu secara historis ditulis menggunakan aksara Pallawa, Kawi, dan Rencong. Setelah kedatangan Islam, suatu tulisan yang berasal dari Abjad Arab, Abjad Jawi, diadopsi dan masih digunakan sampai sekarang sebagai salah satu dari dua aksara resmi di Brunei dan sebagai aksara alternatif di Malaysia .[92] Mulai dari abad ke-17, sebagai akibat dari penjajahan Inggris dan Belanda, Jawi secara bertahap digantikan oleh aksara Rumi yang berbasis dari alfabet Latin.[93] yang akhirnya menjadi sistem penulisan modern resmi untuk bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, dan aksara ko-resmi di Brunei Darussalam.

Sastra

sunting
 
Hikayat Merong Mahawangsa dalam teks Jawi. Dikenal juga sebagai Sejarah Kedah, karya ini adalah sastra Melayu kuno yang mengisahkan garis keturunan Merong Mahawangsa dan pendirian Kedah.

Karya sastra lisan dan klasik Melayu kaya akan gambaran berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pelayan hingga menteri, dari hakim hingga Raja, serta dari periode kuno hingga modern. Gambaran ini membentuk identitas amorf orang Melayu.[94]

Bahasa Melayu yang lembut dan harmonis dengan mudah memenuhi kebutuhan sajak dan irama, sehingga keaslian dan keindahan sastra Melayu dapat dinilai dari elemen puitisnya. Beberapa bentuk puisi dalam sastra Melayu antara lain: Pantun, Syair, dan Gurindam.

Bentuk paling awal sastra Melayu adalah sastra lisan yang subjek utamanya adalah cerita rakyat tradisional yang berkaitan dengan alam, binatang, dan manusia. Cerita rakyat klasik Melayu terdiri dari lagu-lagu tradisional, puisi kepahlawanan, dongeng binatang, cerita hantu, kisah masa lalu, cerita rakyat, mitos simbolis, dan cerita bardik. Setiap cerita memiliki energi sendiri dalam hal karakter, semangat, latar, dan alur cerita, dengan tujuan utama untuk kebahagiaan, memberikan petunjuk, pendidikan, bernostalgia, atau menjelaskan. Cerita-cerita ini dihafal dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak dari kisah-kisah ini juga dituliskan oleh penglipur lara (pendongeng), misalnya: Hikayat Malim Dewa, Hikayat Malim Deman, Hikayat Raja Donan, Hikayat Anggun Cik Tunggal, dan Hikayat Awang Sulung Merah Muda.

Ketika pengaruh India memasuki Nusantara sekitar 2000 tahun yang lalu, sastra Melayu mulai mengadopsi elemen-elemen India. Karya-karya sastra pada masa ini sebagian besar merupakan terjemahan dari sastra Sanskerta dan roman, atau setidaknya terinspirasi dari karya-karya tersebut, yang penuh dengan rujukan ke mitologi Hindu. Karya-karya seperti Hikayat Seri Rama (terjemahan bebas dari Ramayana), Hikayat Bayan Budiman (adaptasi dari Śukasaptati) dan Hikayat Panca Tanderan (adaptasi dari Hitopadesha) dapat ditelusuri ke periode ini.[95]

Era sastra Melayu klasik dimulai setelah kedatangan Islam dan penemuan Aksara Jawi (aksara Arab berbasis Melayu). Sejak itu, kepercayaan dan konsep Islam mulai mempengaruhi sastra Melayu. Batu Bersurat Terengganu, yang bertarikh tahun 1303, merupakan tulisan naratif Melayu tertua yang dikenal. Batu ini memuat kisah sejarah, hukum, dan asmara dalam aksara Jawi.[96] Pada puncaknya, Kesultanan Malaka bukan hanya pusat Islamisasi, tetapi juga pusat ekspresi budaya Melayu termasuk sastra. Pada masa ini, karya-karya sastra terkenal dari Timur Tengah diterjemahkan, dan buku-buku keagamaan ditulis dalam bahasa Melayu. Di antara karya-karya terjemahan terkenal adalah Hikayat Muhammad Hanafiah dan Hikayat Amir Hamzah.

Kenaikan sastra Melayu pada periode ini juga ditandai dengan komposisi sastra asli yang diwarnai oleh Sufisme mistik dari Timur Tengah. Karya-karya terkenal dari Hamzah Fansuri seperti Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), dan Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan) dapat dilihat sebagai karya besar pada masa itu.

 
Wayang Kulit bergaya Kelantan-Patani yang menceritakan kisah heroik dari Hikayat Seri Rama

Karya sastra Melayu paling penting mungkin adalah Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu. Salah satu pakar studi Melayu paling terkemuka, Sir Richard O. Winstedt, menyebutnya sebagai "karya sastra Melayu paling terkenal, khas, dan terbaik".[97] Tanggal pasti komposisinya dan identitas penulis aslinya tidak jelas, tetapi atas perintah Sultan Alauddin Riaayat Shah III dari Johor pada tahun 1612, Tun Sri Lanang mengawasi proses editorial dan kompilasi Sejarah Melayu.[98]

Pada abad ke-19, sastra Melayu mendapatkan beberapa tambahan penting, termasuk Kitab Ilmu Bedil (Buku Senjata Tradisional Melayu) yang memberikan rincian berharga tentang amunisi dan senjata tradisional Melayu. Era ini juga menyaksikan penggunaan yang lebih luas dari jurnal kedokteran Melayu, yang dikenal sebagai Kitab Tib. Karya-karya ini penting sebagai referensi atas pengetahuan dan teknologi Melayu pada masa klasik.[99] Karya sastra Melayu abad ke-19 lainnya ditulis di Sumatra, termasuk Kitab Pengetahuan Bahasa (Buku Pengetahuan Bahasa) oleh Raja Ali Haji dan Perhimpunan Gunawan bagi Laki-Laki dan Perempuan oleh Khatijah Terung, istri dari Raja Haji Abdullah bin Raja Hassan.[100]

Abad yang sama juga menyaksikan perubahan monumental dalam sastra Melayu melalui tulisan-tulisan Abdullah bin Abdul Kadir, seorang Munshi kelahiran Malaka yang terkenal dari Singapura.[95] Abdullah dianggap sebagai orang Melayu paling berbudaya yang pernah menulis,[95] salah satu inovator terbesar dalam dunia sastra Melayu, dan bapak sastra Melayu modern.[96] Karya-karyanya yang paling penting adalah Hikayat Abdullah (autobiografi), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (kisah perjalanannya untuk pemerintah ke Kelantan), dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah (kisah ziarahnya ke Mekkah pada tahun 1854). Karyanya menjadi inspirasi bagi generasi penulis selanjutnya dan menandai tahap awal transisi dari sastra Melayu klasik ke sastra Melayu modern.

 
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei menjelang Ramadhan. Kerajaan ini mengadopsi filosofi nasional Melayu Islam Beraja sejak kemerdekaannya pada tahun 1984.

Komunitas Melayu awal pada umumnya menganut animisme, dengan kepercayaan akan keberadaan semangat (roh) dalam segala sesuatu. Sekitar awal era Masehi, para pedagang dari Asia Selatan memperkenalkan agama Hindu dan Buddha ke Kepulauan Melayu, yang berkembang hingga abad ke-13, sebelum akhirnya Islam diperkenalkan oleh pedagang Muslim dari Arab, Asia Selatan, dan Tiongkok.

Pada abad ke-15, Islam dari sekte ortodoks Sunni mulai berkembang pesat di dunia Melayu selama masa Kesultanan Malaka. Berbeda dengan Hindu yang hanya memengaruhi masyarakat Melayu secara permukaan, Islam dapat dikatakan terintegrasi penuh ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.[101] Sejak era ini, orang Melayu dianggap sebagai kelompok etnoreligius yang memiliki keterikatan erat dengan Islam[102] dan mereka tidak mengubah agamanya sejak saat itu.[101] Identitas ini sangat kuat sehingga menjadi Muslim sering kali diistilahkan sebagai masuk Melayu (menjadi Melayu).[72]

Meskipun demikian, kepercayaan-kepercayaan sebelumnya yang berakar lebih dalam tetap bertahan, meski dihadapkan dengan larangan-larangan dalam Islam. Bahkan, mistisisme dalam Sufisme di kalangan Melayu sering kali berbaur dengan roh-roh dari dunia animisme sebelumnya dan beberapa elemen Hindu.[103] Setelah dekade 1970-an, terjadi kebangkitan kembali Islam[104] di dunia Muslim, di mana banyak tradisi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan mengandung elemen syirik ditinggalkan oleh orang Melayu di Malaysia. Namun, di kalangan orang Melayu di Indonesia, tradisi-tradisi ini tidak dianggap takhayul atau mengandung elemen syirik. Salah satu tradisi tersebut adalah festival mandi safar, sebuah festival mandi untuk mencapai kemurnian spiritual, yang memiliki beberapa kesamaan dengan Durga Puja di India.[105]

Mayoritas besar orang Melayu modern menganut agama Sunni[106], dan perayaan paling penting bagi orang Melayu adalah yang berasal dari agama Islam, seperti Idulfitri, Iduladha, Awal Muharram, dan Maulid Nabi Muhammad.

Arsitektur

sunting
 
Replika dari Istana Kesultanan Melaka, yang dibangun berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dari Sejarah Melayu. Dokumen sejarah ini mengacu pada konstruksi dan arsitektur istana selama era Sultan Mansur Shah, yang memerintah dari 1458 hingga 1477.

Berbagai pengaruh budaya, terutama Tiongkok, India, dan Eropa, memainkan peran penting dalam pembentukan arsitektur Melayu.[107] Hingga zaman modern, kayu adalah bahan utama yang digunakan untuk semua bangunan tradisional Melayu.[108] Namun, banyak struktur batu juga ditemukan, terutama kompleks keagamaan dari zaman Srivijaya dan kerajaan Melayu kuno.

Candi Muara Takus dan Candi Muaro Jambi di Sumatra adalah contoh yang terkait dengan elemen arsitektur Kekaisaran Srivijaya. Namun, arsitektur Srivijaya sebagian besar terwakili di Chaiya (sekarang sebuah provinsi di Thailand) di Semenanjung Melayu, yang merupakan pusat penting selama periode Srivijaya.[109][110] Jenis struktur ini terdiri dari ruang sel untuk menampung gambar Buddha dan puncak struktur dibangun dalam bentuk stupa dengan teras-teras yang bertingkat, yang contohnya dapat dilihat di Wat Pra Borom That di Chaiya.[111]

Terdapat juga bukti adanya kuil Hindu atau Candi di sekitar selatan Kedah antara Gunung Jerai dan lembah Sungai Muda, daerah yang dikenal sebagai Lembah Bujang. Di area seluas sekitar 350 kilometer persegi, dilaporkan terdapat 87 situs keagamaan awal, dan terdapat 12 candi yang terletak di puncak gunung, sebuah fitur yang menunjukkan mungkin berasal dari kepercayaan pra-sejarah Melayu mengenai kesucian tempat tinggi.[112]

 
Panel dinding yang dihiasi dengan berbagai motif bunga dari kediaman Setul Mambang Segara seperti yang terlihat di Museum Negara Malaysia. Setul adalah kerajaan Melayu historis yang ada antara tahun 1808 dan 1915 di Semenanjung Melayu utara.

Referensi awal mengenai arsitektur Melayu di Semenanjung Melayu dapat ditemukan dalam beberapa catatan Tiongkok. Catatan Tiongkok abad ke-7 menceritakan tentang peziarah Buddha yang mengunjungi Langkasuka dan menyebutkan kota tersebut dikelilingi oleh tembok di mana menara telah dibangun dan diakses melalui gerbang ganda.[113] Catatan abad ke-7 lainnya tentang utusan khusus Tiongkok ke Kerajaan Tanah Merah di Semenanjung Melayu mencatat bahwa ibu kota memiliki tiga gerbang yang terpisah lebih dari seratus langkah, yang dihias dengan lukisan bertema Buddha dan roh wanita.[114]

Deskripsi rinci pertama tentang arsitektur Melayu adalah pada Istana besar Mansur Syah dari Malaka (memerintah 1458–1477).[108] Menurut Sejarah Melayu, bangunan ini memiliki struktur tujuh bay yang dinaikkan pada tiang kayu dengan atap tujuh tingkat dari sirap tembaga dan dihias dengan menara emas serta cermin kaca Tiongkok.[115]

Rumah-rumah tradisional Melayu dibangun menggunakan struktur rangka kayu sederhana. Rumah-rumah ini memiliki atap miring, emper di bagian depan, langit-langit tinggi, banyak bukaan pada dinding untuk ventilasi,[116] dan sering dihiasi dengan ukiran kayu. Keindahan dan kualitas ukiran kayu Melayu dimaksudkan untuk berfungsi sebagai indikator visual dari peringkat dan status sosial pemiliknya sendiri.[117]

Selama beberapa dekade, arsitektur tradisional Melayu telah dipengaruhi oleh Bugis dan Jawa dari selatan, Siam, Inggris, Arab, dan India dari utara, Portugis, Belanda, Aceh, dan Minangkabau dari barat, serta Tiongkok Selatan dari timur.[118]

Seni Visual

sunting
 
Burung Petala Indra, burung mitos raksasa yang dibuat untuk arakan khitan putra Kelantan pada tahun 1933

Ukiran kayu adalah bagian dari seni visual klasik Melayu. Orang Melayu secara tradisional menghias monumen, perahu, senjata, makam, alat musik, dan peralatan mereka dengan motif flora, kaligrafi, geometri, dan fitur kosmik. Seni ini dilakukan dengan menghilangkan sebagian kayu menggunakan alat tajam dan mengikuti pola, komposisi, serta urutan tertentu. Bentuk seni ini, yang dikenal sebagai ukir, dipuji sebagai bentuk pengabdian para pengrajin kepada pencipta dan sebagai hadiah bagi sesama manusia.[119]

Bentuk seni ini terutama disebabkan oleh ketersediaan kayu di Kepulauan Melayu dan juga oleh keahlian pemahat kayu yang memungkinkan orang Melayu mempraktikkan ukiran kayu sebagai kerajinan. Lingkungan tropis alami yang kaya flora dan fauna menginspirasi motif-motif yang digambarkan dalam bentuk abstrak atau bergaya pada papan kayu. Dengan kedatangan Islam, bentuk-bentuk geometri dan kaligrafi Islam diperkenalkan dalam ukiran kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari spesies kayu keras tropis yang dikenal tahan lama dan dapat menahan serangan jamur, kumbang, dan rayap.[120]

Rumah tradisional Melayu atau masjid biasanya dihiasi dengan lebih dari 20 komponen ukiran. Ukiran pada dinding dan panel memungkinkan sirkulasi udara yang efektif di dalam dan di luar bangunan serta membiarkan sinar matahari menerangi interior struktur. Pada saat yang sama, bayangan yang dihasilkan oleh panel juga menciptakan pola bayangan berdasarkan motif, menambah keindahan di lantai. Dengan demikian, komponen ukiran berfungsi baik secara fungsional maupun estetis.

Keramik

sunting
 
Labu Sayong berwarna hitam, sebuah pot klasik Melayu dari Kuala Kangsar, Perak, Malaysia

Dalam budaya Melayu, keramik tidak hanya dipandang sebagai alat makan rumah tangga semata. Keramik dianggap sebagai karya seni, sebuah contoh bakat yang dipenuhi dengan estetika, warisan, ketekunan, dan pengabdian religius. Keramik Melayu umumnya tidak dilapisi glasir, dengan desain ornamen yang diukir saat keramik masih setengah kering selama proses pembuatannya.[121]

Menurut beberapa studi,[122] industri keramik Melayu asli telah berkembang secara endemik sejak zaman kuno dan kini mencerminkan tingkat kecanggihan budaya yang tinggi. Juga dicatat bahwa fitur desain keramik Melayu menunjukkan tidak adanya pengaruh asing sebelum abad ke-19, sebuah paradoks mengingat kontak budaya yang luas antara orang Melayu dan dunia luar.[122]

Di antara keramik tradisional Melayu yang terkenal termasuk Mambong dari Kelantan, yang dibentuk dari tanah liat dan dikenal dengan warna terracotta. Biasanya berbentuk alat masak. Di pantai barat, Labu Sayong dari Kuala Kangsar dihormati sebagai kendi berbentuk labu. Ada juga beberapa varian Labu, termasuk Labu Tela, Labu Kepala, Labu Gelugor Tela, dan Labu Gelugor Kepala.[121]

Bentuk-bentuk lain dari keramik tradisional Melayu meliputi: Belanga, biasanya memiliki bibir lebar dan dasar bulat, pot ini biasanya digunakan untuk memasak kari. Struktur tanah liat dipercaya membantu distribusi panas yang merata, sesuai dengan dasar bulatnya. Versi lebih kecil dari Belanga disebut periok, digunakan untuk menyiapkan nasi; Buyong, biasanya memiliki kerah lurus dan tubuh bulat, sering digunakan sebagai kendi air; Terenang, yang angular digunakan sebagai tempat penyimpanan, terutama di wilayah pesisir Melayu seperti Kelantan, Patani dan Terengganu; Bekas Bara, sebuah wadah kecil, biasanya dibuat untuk penggunaan dupa; Jambangan, sebuah vas tradisional Melayu, biasanya untuk tujuan estetika; dan Geluk, sebuah penyimpanan air kecil.[123]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Ethnic Group (eng)". indonesia.go id. Indonesian Information Portal. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-21. Diakses tanggal 29 Desember 2020. This quantity only provides the ethnic group population that lies under the term "Melayu" of Melayu Asahan, Melayu Deli, Melayu Riau, Langkat/ Melayu Langkat, Melayu Banyu Asin, Asahan, Melayu, Melayu Lahat, and Melayu Semendo in some part of Sumatra 
  2. ^ "Thailand". World Population Review. 2022. 
  3. ^ "Singapore". CIA World Factbook. 2022. Diakses tanggal 28 Februari 2014. 
  4. ^ "CIA (B)"
  5. ^ "Jejak Melayu di bumi anbiya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 September 2018. Diakses tanggal 1 Juni 2018. 
  6. ^ "Jabal Ajyad perkampungan komuniti Melayu di Mekah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 September 2018. Diakses tanggal 1 June 2018. 
  7. ^ "Australia – Ancestry". .id community. 
  8. ^ "Malaysian Malay in United Kingdom". Joshua Project. 
  9. ^ "Data Access Dissemination Systems (DADS): Results". United States Census Bureau. 5 October 2010. Diakses tanggal 2 December 2018. [sumber mendukung?]
  10. ^ "Malay in Myanmar (Burma)". Joshua Project. 
  11. ^ "Census Profile, 2016 Census". Statistics Canada. 
  12. ^ Milner 2010, hlm. 24, 33.
  13. ^ a b Barnard 2004, hlm. 7 & 60.
  14. ^ Milner 2010, hlm. 131.
  15. ^ Barnard 2004, hlm. 7, 32, 33 & 43.
  16. ^ a b Timothy P. Barnard (2004). Contesting Malayness: Malay identity across boundaries. Singapore: Singapore University press. ISBN 9971-69-279-1. 
  17. ^ Reid, Anthony (October 2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. 
  18. ^ Melebek & Moain 2006, hlm. 9–10.
  19. ^ Barnard 2004, hlm. 3.
  20. ^ Deka 2007, hlm. 57.
  21. ^ Pande 2006, hlm. 266.
  22. ^ Gopal 2000, hlm. 139.
  23. ^ Ahir 1995, hlm. 612.
  24. ^ Mukerjee 1984, hlm. 212.
  25. ^ Sarkar 1970, hlm. 8.
  26. ^ Gerolamo Emilio Gerini (1974). Researches on Ptolemy's geography of eastern Asia (further India and Indo-Malay archipelago. Munshiram Manoharlal Publishers. hlm. 101. ISBN 81-70690366. 
  27. ^ Gerini 1974, hlm. 101.
  28. ^ I Ching 2005, hlm. xl–xli.
  29. ^ Melayu Online 2005.
  30. ^ Phani Deka (2007). The great Indian corridor in the east. Mittal Publications. hlm. 57. ISBN 81-8324-179-4. 
  31. ^ Govind Chandra Pande (2005). India's Interaction with Southeast Asia: History of Science,Philosophy and Culture in Indian Civilization, Vol. 1, Part 3. Munshiram Manoharlal. hlm. 266. ISBN 978-8187586241. 
  32. ^ Lallanji Gopal (2000). The economic life of northern India: c. A.D. 700-1200. Motilal Banarsidass. hlm. 139. ISBN 9788120803022. 
  33. ^ D.C. Ahir (1995). A Panorama of Indian Buddhism: Selections from the Maha Bodhi journal, 1892-1992. Sri Satguru Publications. hlm. 612. ISBN 8170304628. 
  34. ^ Radhakamal Mukerjee (1984). The culture and art of India. Coronet Books Inc. hlm. 212. ISBN 9788121501149. 
  35. ^ Himansu Bhusan Sarkar (1970). Some contributions of India to the ancient civilisation of Indonesia and Malaysia. Calcutta: Punthi Pustak. hlm. 8. 
  36. ^ I-Tsing (2005). A Record of the Buddhist Religion As Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671-695). Asian Educational Services. hlm. xl – xli. ISBN 978-8120616226. 
  37. ^ Europa Publications Staff (2002). Far East and Australasia 2003 (34th edition). Routledge. hlm. 763. ISBN 978-1857431339. 
  38. ^ Milner, Anthony (2011). The Malays. John Wiley & Sons. hlm. 91–92. ISBN 9781444391664. 
  39. ^ Untuk usia manuskrip, lihat Malay Concordance Project.
  40. ^ Ryan 1976, hlm. 4–5.
  41. ^ "Orang Asli Population Statistics". Center for Orang Asli Concerns. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22. 
  42. ^ Barnard 2004.
  43. ^ Murdock 1969, hlm. 278.
  44. ^ Ooi 2004, hlm. 495.
  45. ^ Anderbeck 2002.
  46. ^ Jamil Abu Bakar 2002, hlm. 39.
  47. ^ TED 1999.
  48. ^ Oppenheimer 2006.
  49. ^ Abdulla et al. 2009.
  50. ^ Soares, et al. 2008.
  51. ^ Razak 2012.
  52. ^ Terrell 1999.
  53. ^ Baer 1999.
  54. ^ Larena, Maximilian; Sanchez-Quinto, Federico; Sjödin, Per; McKenna, James; Ebeo, Carlo; Reyes, Rebecca; Casel, Ophelia; Huang, Jin-Yuan; Hagada, Kim Pullupul; Guilay, Dennis; Reyes, Jennelyn (2021-03-30). "Multiple migrations to the Philippines during the last 50,000 years". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 118 (13): e2026132118. doi:10.1073/pnas.2026132118. ISSN 0027-8424. PMC 8020671  Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 33753512 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  55. ^ Yang, Melinda A. (2022-01-06). "A genetic history of migration, diversification, and admixture in Asia". Human Population Genetics and Genomics (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 1–32. doi:10.47248/hpgg2202010001. ISSN 2770-5005. 
  56. ^ Devan 2010.
  57. ^ a b Zaki Ragman 2003, hlm. 1–6
  58. ^ Sabrizain. "Early Malay kingdoms". Sejarah Melayu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 October 2012. Diakses tanggal 21 June 2010. 
  59. ^ a b Munoz 2006, hlm. 171.
  60. ^ Miksic & Goh 2017.
  61. ^ Aljunied, Syed Muhd. Khairudin (2019). Islam in Malaysia: An Entwined History (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-19-092519-2. 
  62. ^ Miksic & Goh 2017, hlm. 359, 397, 398.
  63. ^ Miksic & Goh 2017, hlm. 464.
  64. ^ Ministry of Culture 1973, hlm. 9.
  65. ^ Cœdès 1968, hlm. 245–246.
  66. ^ Alexander 2006, hlm. 8 & 126.
  67. ^ Stearns 2001, hlm. 138.
  68. ^ Wolters 1999, hlm. 33.
  69. ^ Pande 2006, hlm. 286.
  70. ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1174
  71. ^ Hussin Mutalib 2008, hlm. 25.
  72. ^ a b Andaya & Andaya 1984, hlm. 55.
  73. ^ Mohd Fauzi Yaacob 2009, hlm. 16.
  74. ^ Abu Talib Ahmad & Tan 2003, hlm. 15.
  75. ^ Sneddon 2003, hlm. 74.
  76. ^ Milner 2010, hlm. 47.
  77. ^ Esposito 1999.
  78. ^ Mohamed Anwar Omar Din 2011, hlm. 34.
  79. ^ Harper 2001, hlm. 15
  80. ^ Europa Publications Staff 2002, hlm. 203.
  81. ^ Richmond 2007, hlm. 32.
  82. ^ Wright 2007, hlm. 492.
  83. ^ Teeuw 1959, hlm. 149.
  84. ^ a b Sneddon 2003, hlm. 59
  85. ^ Sneddon 2003, hlm. 84.
  86. ^ Sneddon 2003, hlm. 60.
  87. ^ Sweeney 1987.
  88. ^ Van der Putten & Cody 2009, hlm. 55.
  89. ^ Wong 1973, hlm. 126.
  90. ^ Clyne 1992, hlm. 413.
  91. ^ Brown & Ogilvie 2009, hlm. 678.
  92. ^ "Kedah MB defends use of Jawi on signboards". The Star. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 October 2012. 
  93. ^ "Malay (Bahasa Melayu / بهاس ملايو)". Omniglot. 
  94. ^ Littrup 1996, hlm. 192.
  95. ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1218
  96. ^ Boyd 1999, hlm. 756.
  97. ^ Jaaffar, Hussain & Ahmad 1992, hlm. 260.
  98. ^ "Kitab Ilmu Bedil – Book of Malay Traditional Weaponry (2016)". The Memory of the World Committee for Asia and the Pacific. July 10, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 December 2017. Diakses tanggal 3 December 2017. 
  99. ^ Musa, Mohd Faizal (2021). "Transcripts of Gender, Intimacy, and Islam in Southeast Asia: The "Outrageous" Texts of Raja Ali Haji and Khatijah Terung". Religions (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 219. doi:10.3390/rel12030219 . ISSN 2077-1444. 
  100. ^ a b Syed Husin Ali 2008, hlm. 57
  101. ^ Johns & Lahoud 2005, hlm. 157.
  102. ^ Winstedt 1925, hlm. 125.
  103. ^ Burgat 2003, hlm. 54.
  104. ^ Bolton & Hutton 2000, hlm. 184.
  105. ^ "The Malay of Malaysia". Bethany World Prayer Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 October 2012. Diakses tanggal 28 February 2014. 
  106. ^ Henket & Heynen 2002, hlm. 181
  107. ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1219
  108. ^ Chihara 1996, hlm. 213.
  109. ^ Van Beek & Invernizzi 1999, hlm. 75.
  110. ^ Jermsawatdi 1989, hlm. 65.
  111. ^ O'Reilly 2007, hlm. 42.
  112. ^ Jamil Abu Bakar 2002, hlm. 59.
  113. ^ Mohamad Tajuddin Haji Mohamad Rasdi 2005, hlm. 19.
  114. ^ Mohamad Tajuddin Haji Mohamad Rasdi 2005, hlm. 24.
  115. ^ Ahmad, A. Ghafar. "Arsitektur Vernakular Melayu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Juni 2010. Diakses tanggal 24 Juni 2010. 
  116. ^ Noor & Khoo 2003, hlm. 47.
  117. ^ "For Sale – CountryHeights". The Art of Living Show. Mar 22, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12 – via YouTube. 
  118. ^ Said 2005.
  119. ^ Said 2002.
  120. ^ a b "Malaysian Handicraft – Pottery". Go2Travelmalaysia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 November 2017. Diakses tanggal 22 November 2017. 
  121. ^ a b Azmi Arifin 2015
  122. ^ Cikgu Paklong 2017.

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting