Menu Schließen Sie
Papan tanda multi arah di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. DH Saragih/shutterstock.

Penggunaan ‘sultan ground’ oleh rakyat: perlu dialog agar lebih istimewa

Yogyakarta—sering disebut juga dengan Yogya atau Jogja—dikenal sebagai provinsi yang istimewa. Secara historis, keistimewaan ini berakar pada sejarah keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dimulai dari berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti 1755.

Pada masa kolonial Belanda, pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta diatur dengan kontrak politik yang dilakukan antara Sultan dengan pemerintah Belanda pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Dengan adanya kontrak tersebut, pemerintah Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai kerajaan yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.

Dalam perkembangannya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman kemudian menyatakan bergabung sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Transisi dari daerah yang awalnya memiliki kewenangan sendiri menjadi bagian dari sebuah negara kesatuan yang baru berdiri, membuat Yogyakarta memiliki beberapa keistimewaan. Secara hukum, keistimewaan ini ditunjukkan melalui: (1) Tata cara pengisian jabatan Gubernur/Wakil Gubernur DIY, (2) Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, (3) Kebudayaan, (4) Pertanahan, dan (5) Tata ruang sesuai UU No. 13 Tahun 2012.

Dalam hal pertanahan, undang-undang tersebut mengatur adanya kewenangan lokal yang tidak dimiliki daerah lain, yaitu hak kepemilikan Kasultanan dan Pakualaman sebagai entitas subjek hukum. Artinya, Kasultanan dan Kadipaten memiliki kekuasaan untuk mengelola seluruh tanah miliknya di Yogyakarta yang disebut dengan sultan ground (SG).

Sayangnya, keistimewaan terkait SG ini memunculkan beberapa persoalan. Salah satunya adalah pengenaan biaya sewa (dikenal dengan istilah pisungsung) yang jumlahnya cukup besar dan memberatkan masyarakat sehingga berlawanan dengan ketentuan pertanahan sesuai pasal 32 ayat (4) dan (5) UU No 13/2012 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu, “ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.”

Dualisme ‘pisungsung’

Saat ini, telah terjadi pergeseran makna pisungsung dari yang bersifat kultural dan personal, menjadi ekonomi dan bisnis.

Secara umum, pisungsung berarti persembahan atau hadiah kepada raja dalam bahasa Jawa. Di beberapa tempat, pemberian hadiah dari rakyat kepada raja dianggap sebagai ritual budaya dan keagamaan, termasuk di Jawa.

Bentuk persembahan rakyat ini bisa berupa hasil bumi atau uang, sebagai simbol penghormatan, perhargaan dan upaya memelihara relasi, serta ungkapan terima kasih atau syukur kepada raja. Makna ini mengalami perluasan. Pisungsung juga dapat berarti persembahan untuk seseorang yang dianggap penting, berjasa dan dihormati.

Dalam konteks SG, pisungsung sering disamakan dengan pajak, biaya sewa, dan tarif atas hak pakai atau hak guna bangunan. Dengan istilah tersebut maka pisungsung adalah bagian dari transaksi bisnis dengan besaran disesuaikan dengan luas tanah dan biaya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, yang berlaku pada tahun tersebut. Biaya sewa ini cenderung meningkat, menyesuaikan dengan harga pasar atau nilai kemanfaatan tanah, yang bisa berkisar ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah per tahun.

Polemik menyewa tanah sultan

Gambar 1. Setiap tanah yang sudah diidentifikasi tanah Sultan ditandai dengan papan tulisan Tanah Milik Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Author provided

Dengan adanya hak milik, Kasultanan dapat memberikan ijin sewa untuk berbagai kepentingan, seperti tempat tinggal, institusi publik, ataupun toko, pabrik, atau perusahaan, sepanjang tidak menyimpang dari UU Keistimewaan. Dalam transaksi sewa-menyewa, kasultanan menerbitkan surat ijin sewa–disebut dengan istilah serat kekancingan–, yang berlaku untuk periode tertentu dan dapat diperpanjang. Kemudian, tanah tersebut akan ditandai dengan pilar tulisan ‘tanah milik keraton’

Tanpa surat ini dan pemenuhan biaya sewa per tahun, tanah yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat selama berpuluh-puluh tahun atau turun temurun pun, dapat diminta kembali oleh Sultan. Hal ini contohnya dapat ditemukan pada kasus pembebasan sultan ground untuk proyek bandara Yogyakarta International Airport.

Bahkan, ada yang mengaku sudah membayar biaya sewa setiap tahun, memiliki surat ijin sewa, tetapi tanahnya tetap diambil kembali oleh Kasultanan, karena ketidaktahuan tentang status tanah dan proses pengelolaanya.

Perlu dialog antara sultan dan rakyat

UU No. 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah memunculkan keresahan di masyarakat bahkan hingga beberapa tahun terakhir ketika kasultanan dan kadipaten mulai aktif memetakan dan mengidentifikasi kembali tanah kasultanan dan kadipaten.

Keluhan dan keresahan sebagian masyarakat Yogya ini mestinya tidak dianggap sepele. Dengan statusnya sebagai badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, maka Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman juga memiliki hak milik atas tanah yang ada di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Artinya, bukan tidak mungkin keresahan tentang pisungsung dan status tanah yang ditinggali oleh masyarakat berpotensi menjadi keresahan bersama sehingga memicu perasaan tidak nyaman dalam bertempat tinggal di Yogyakarta.

Karena itu, kasultanan perlu berdialog dengan masyarakat untuk saling mendengar dan memahami tentang keistimewaan dalam hal pertanahan, terutama terkait dengan ketentuan penggunaan tanah sultan sesuai ketentuan undang-undang.

Harapannya, dialog-dialog ini dapat menciptakan kesamaan persepsi tentang pemanfaatan SG untuk kepentingan budaya, sosial dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, muncul kesepakatan bersama tentang pemanfaatan SG, yang memang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, dan pisungsung yang benar-benar merupakan wujud penghormatan rakyat kepada sultan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 189,000 academics and researchers from 5,033 institutions.

Register now