Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Assistancy in Nursing Care of Medical Surgical Nursing KOLABORASI

for Patients with Integument System Problem (Snake Inspirasi


Bite) in Anggrek Room, General Hospital of Banjar Masyarakat Madani

Vol. 002, No. 002


Pendampingan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien PP. 160 – 174
dengan Gangguan Sistem Integument (Snake Bite) di Ruang Anggrek EISSN: 2809 - 0438
RSUD Banjar

Muhamad Ramdan Nujulul Furqon1, Ade Fitriani2, Gumilar Rahmat3

1,2 STIKesMuhammadiyah Ciamis, Ciamis, Indonesia


3RSUD Kota Banjar

Korespondensi:
Muhamad Ramdan Nujulul Furqon
Email:
[email protected]
Alamat :
Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 20 Ciamis 46216

ABSTRACT
Introduction: Snakebite is a disease of the integumentary system that causes pain for the sufferer
and can even result in disability and death.
Objective: This assistance aims to provide a nursing plan to Mrs. O with a medical diagnosis of
snake bite in the Anggrek room at the Banjar Hospital in 2022.
Method: Assistance activities are carried out by providing nursing care through 5 stages of the
nursing process, namely Assessment, Diagnosis, Nursing Intervention, Nursing Implementation,
and Evaluation.
Result: The results showed that the patient's main complaint was pain, the diagnosis that
appeared in the patient was acute pain, after being given nursing actions since January 5, the
results showed that the patient said he had relaxed a little.
Conclusion: After the process of providing nursing care was carried out on January 5, 2022, the
nursing problems found in Ny. O is not resolved and continue the intervention.

Keywords: assistancy, nursing care, snake bite

Pendahuluan
1. Definisi
Bisa ular adalah racun yang berasal dari ular (binatang) yang berbisa. Racun hewan terdiri
dari campuran zat-zat yang bisa menyebabkan efek reaksi toksik yang berbeda-beda pada
manusia (Suryanda et al., 2020). Gigitan ular merupakan peristiwa lingkungan, tergantung

160
pada iklim dan pekerjaan di daerah pedesaan terutama di Asia Tenggara (Muthmainnah,
2020). Gigitan ular merupakan keadaan darurat dalam dunia medis, dan merupakan penyakit
akibat kerja yang sering diabaikan oleh tenaga medis (Adjie & Setyawatiningsih, 2021).

2. Etiologi
Menurut (R. A. Yunanto et al., 2021)Ada 3 keluarga ular beracun, yaitu hidrophidae,
viperidae, Elapidae.Racun ular bisa mengakibatkan transformasi daerah, seperti pendarahan,
pembengkakan jaringan karena kandungan cairannya bertambah. Banyak yang dapat
menyebabkan perubahan lokal, tetapi terlokalisasi pada tubuh yang digigit. Sementara
beberapa racun Elapidae sudah tidak ada lagi di tempat patokan dalam waktu 8 jam.
Ada beberapa jenis racun ular yang diketahui beracun:
a. Racun ular yang bersifat venom bagi darah (hematoxic)
Racun ular yang memiliki racun bagi darah adalah racun ular yang menyerang sel
darah merah beserta cara merusak lecet stroma (pembatas sel darah merah), kemudian
sel darah rusak dan larut (hemolisin) dan keluar melalui saluran darah. Hal ini
menyebabkan pendarahan di selaput tipis (lendir) di mulut, nasal, kerongkongan, dll.
b. Racun ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Ialah racun ular yang menghancurkan dan merusak jaringan sel saraf di area luka
patokan sehingga jaringan sel saraf tercatat mati beserta ciri-ciri integument di area luka
patokan terlihat kebiruan dan hitam (necrotizing). Pemencaran dan keracunan
seterusnya mengubah sistem saraf pusat dengan menggagalkan sistem saraf sentral,
seperti saraf pernapasan dan jantung. Pemencaran racun ular ke seluruh tubuh, yaitu
melewati saluran getah bening.
c. Racun ular yaitu Myotoxin
Menyebabkan rhabdomyolysis dikaitkan dengan maemotoxins. Myoglobulinuria yang
mengakibatkan rusaknya nephros (ginjal) dan kelebihan kalium akibat rusaknya sel otot.
d. Racun ular yang merupakan cardiotoxin
Kerusakan pada serat otot jantung menyebabkan kehancuran pada otot jantung.
e. Racun ular yaitu cytotoxin
Dengan membebaskan histamin dan zat vasoaktifamine lainnya, menyebabkan
gangguan kardiovaskular.
f. Racun ular yang bersifat sitolitik
Komponen ini aktif mengakibatkan infeksi dan nekrosis jaringan di area patokan.
g. Enzim
Tercatat hyaluronidase sebagai komponen aktif dalam pemencaran racun.

3. Klasifikasi
Tingkat keparahan kasus patokan ular beracun biasanya dibagi menjadi 4 skala, yaitu
grade 1 (kecil) = tidak ada masalah, grade 2 (sedang) = indikasi area, grade 3 (parah) = indikasi
berlanjut ke wilayah regional, grade 4 (mayor) = indikasi sistemik (Cholifah & Astuti, 2012). Pada
umumnya gejala akibat racun ular bereaksi dalam waktu 2-6 jam sesudah digigit.1,10
sumbatan serebral terkadang terjadi akibat patokan ular dari keluarga Crotalidae/Viperidae,
bereaksi selama 7 jam hingga 1 Ahad sesudah digigit. .11 Lalloo DG et al,12 pada tahun 1992

161
memberitahukan bahwa indikasi objektif terjadi dari 15 menit hingga 6 jam (dengan median
1 jam) sesudah patokan (Cholifah & Astuti, 2012).

4. Patofisiologi dan pathway


Racun ular yang masuk ke dalam tubuh, memunculkan daya racun. Racun tersebar
melewati pemencaran darah yang dapat menghambat beragam sistem. Semacam, sistem
neurogist, kardiovaskular, respirasi. Pada gangguan sistem saraf, racun dapat mempengaruhi
saraf yang terhubung dengan sistem respirasi yang dapat menyebabkan edema pada jalan
napas, kemudian menyebabkan kesusahan napas. Pada sistem kardiovaskular, racun
menghambat kinerja pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan tekanan darah rendah.
Sedangkan sistem respirasi dapat menyebabkan syok hipovolemik dan koagulopati berat
yang bisa menyebabkan gagal napas (Rohman et al., 2019).

Trauma Gigitan ular

Krisis situasi Racun masuk


kedalam tubuh

MK : Ansietas Toksik menyebar Toksik ke jaringan


melalui darah sekitar gigitan

Inflamasi

Gangguan sistem Gangguan sistem


neurologis pernafasan
Sistem imun Nyeri

Neuro toksik Obstruksi saluran


MK : Resiko tinggi MK : Nyeri akut
pernafasan
infeksi
Gangguan
hipotalamus Sesak

Kontrol suhu dan nyeri


terganggu MK : Gangguan pola
nafas tidak efektif

MK : Hipertermi

5. Manifestasi klinik
Secara umum, indikasi area dan sistemik akan terjadi pada semua patokan ular. Indikasi
area: pembengkakan jaringan, nyeri teken pada luka patokan, memar (kulit gelap karena
darah terjebak di jaringan subkutan (Rifai & Cholifah, 2016).

162
Copartment syndrome merupakan salah satu indikasi khusus dari patokan ular beracun
ialah edema (bengkak) pada kaki dengan ciri 5Ps: pain (nyeri), pallor (wajah pucat),
paresthesia (mati rasa), lumpuh (muscle paralysis), denyut nadi (berdenyut) (Rifai & Cholifah,
2016).

6. Pemeriksaan Penunjang
penelitian laboratorium basis, pemeriksaan kimia darah, taksir sel darah utuh, penetapan
golongan darah dan tes silang, masa protrombin, masa tromboplastin parsial, jumlah
trombosit, urinalisis, penetapan kandungan sukrosa darah, BUN dan elektrolit. Untuk
patokan yang parah, periksa fibrinogen, kerapuhan sel darah merah, waktu pengentalan dan
masa retraksi bekuan (Sumedi, 2018).

7. Terapi farmakologi dan non-farmakologi


Terapi dibagi menjadi manajemen di lokasi patokan dan di rumah sakit. Penatalaksanaan
di area patokan termasuk mengurangi atau mencegah tersebarnya racun dengan
memberikan tekanan pada area patokan dan melumpuhkan anggota tubuh. Kendaraan cepat
diupayakan untuk mengantarkan penderita ke klinik terdekat, klien tidak diberi makan atau
minum. Saat ini eksisi dan suction mungkin tidak disarankan jika dalam waktu 45 menit
penderita bisa tiba di klinik (Nopita & Kamaluddin, 2021).
Di klinik diagnosa mesti ditetapkan dan pasien segera memasang dua jalan intravena
untuk mengalirkan larutan intravena dan jalan lain disediakan waktu darurat. cepat dilakukan
analisis laboratorium seperti darah tepi lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit, urinalisis
serta kadar ureum dan kreatinin darah. Pasien diberi injekan toksoid tetanus dan serum anti
bisa ular dipertimbangkan. Perhitungan di situs patokan mesti dinilai untuk menentukan
perkembangan. Terkadang mesti dilakukan eksisi dan suction racun saat membersihkan luka.
Saat ini masih menjadi perdebatan tentang pembedahan (fasciotomy) pada pasien patokan
ular beracun. Fasiotomi dilakukan bila terjadi edema yang meluas dan terjadi sindrom
kompartemen (kondisi penyumbatan berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi
serta menyebabkan edema, akibat kenaikan permeabilitas kapiler dan hiperemia). Pada
semua kejadian patokan ular, mesti diberikan antibiotik spektrum luas serta kortikosteroid,
walaupun pembagian kortikosteroid belum terselesaikan (Rohman et al., 2019).
Di AS ada 3 antivenom yang dibuat dan disepakati oleh FDA, antivenon polyvalent
crotalidae, antivenon untuk ular karang (Elapidae) dan antivenon untuk laba-laba janda hitam.
Semua anti bisa ular berasal dari serum hewan, paling sering dari serum kuda, dalam bentuk
imunoglobulin yang melilit langsung serta menawarkan protein dari racun. Produk-produk
binatang ini bila terkena penderita dengan jumlah besar bisa mengakibatkan reaksi
hipersensitivitas tipe dan tipe III yang cepat. Reaksi akut berupa reaksi anafilaksis bisa terjadi
pada 20-25% pasien, ma kematian dapat terjadi karena tekanan darah rendah serta
bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada 50-75% penderita dengan indikasi
penyakit serum misalnya panas, ruam difus, urtikaria, artralgia, hematuria serta bisa
bersiteguh sementara waktu. Reaksi yang paling umum ialah urtikaria, tetapi efek samping
yang serius jarang terjadi. Pemberian antibisa harus dilakukan di rumah sakit dengan
163
peralatan resusitasi yang tersedia. Pemakaian adrenalin, steroid dan antihistamin bisa
membatasi reaksi yang terjadi akibat anti racun ular antara 12,5-30%. Profilaksis hanya
prometazin tidak bisa menahan reaksi cepat. Anak-anak sering membutuhkan data anti-racun
dalam jumlah besar karena rasio kecil antara volume tubuh dan racun ular yang
didistribusikan (R. Yunanto & Sulistyorini, 2021).
Pada tahun 2000 di bulan Desember ada produk baru yaitu Crotalinae Polyvalent Immune
Fab (ovine) anti racun yang tebuat dari serum domba. Serum Fab ini ternyata lima kali lebih
kuat dan efektif sebagai anti racun ular dan langka terjadi komplikasi akibat pemberiannya.
Pemakaian serum Fab disarankan dilarutkan memakai 250 ml NaCl 0,9% dan diberikan lebih
dari satu jam secara intravena. Untuk penderita yang kecil (bobot kurang dari 10 kg), volume
cairan bisa menyesuaikan. Jumlah pemakaian anti racun ular tersangkut pada tingkat
keparahan kasusnya. Kasus dengan grade none tidak diberikan antivenom, untuk kasus grade
minimal 1-5 vial, sedang serta berat lebih dari 15 vial (Kurniawan et al., 2017).
Antibiotik diberikan secara rutin, karena infeksi bisa terjadi di area patokan. Pemberian
antibiotik masih kontroversial, tetapi Blaylock pada tahun 1999 dari analisisnya menemukan
bahwa 18 dari 20 pasien memiliki kultur darah positif bakteri gram negatif aerobik
(Pamungkas et al., 2020).

8. Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen. Nekrosis
yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemang atau amputasi karena kerusakan pada
jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari mungkin saja timbul osteomyelitis, dan ulkus
kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi paralisis otot pernafasan yang mengakibatkan
hipoksia otak dan bisa mengakibatkan defisit neurologis menetap (Agustin et al., 2019).

9. Diagnosa Keperawatan
Tulis 15 diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yang tertera pada pathway dalam
bentuk tabel. Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien tuberkulosis.
Masalah Keperawatan
Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1 Nyeri akut b.d agen pencedera fisik D.0077 172
2 Ansietas b.d perubahan status kesehatan D.0080 180
3 pola nafas tidak efektif b.d sesak D.0005 26
4 Hipertermi b.d proses penyakit D.0130 284
5 Resiko tinggi infeksi b.d kerusakan integritas kulit D.0142 304
Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

Tujuan
Asistensi ini bermaksud untuk memberi rencana keperawatan kepada pasien Ny. O
dengan diagnosa medis Snake bite di ruang Anggrek RSUD Banjar.

164
Metode
Kegiatan Asistensi Asuhan Keperawatan dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2022 di
Ruang Anggrek RSUD Banjar yang mencakup 5 tahapan proses asuhan keperawatan.

Assessment

Evaluation Diagnosis

Implementati
Intervention
on

Gambar 1. Nursing Process (Setiawan, 2020)

Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang dipakai dalam kegiatan keperawatan
untuk membantu pemberi asuhan memberikan asuhan secara profesional (Malik, et al., 2021).
Proses keperawatan membantu pemberi perawatan dalam implementasi praktik keperawatan
yang sistematis dan terarah dalam memecahkan masalah keperawatan pasien. Proses
keperawatan dimulai dengan evaluasi, diagnosis, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
Pengkajian merupakan proses pertama dalam fase keperawatan. Asesmen adalah
kegiatan pengumpulan data pasien yang lengkap dan sistematis yang diselidiki dan dianalisis
untuk mengidentifikasi masalah fisik, psikologis, sosial, mental atau kesehatan pasien (Ulina, Eka,
& Yoche, 2020).
Diagnosa keperawatan menggambarkan reaksi individu atau kelompok manusia (resiko
status kesehatan atau perubahan pola) dan diturunkan dari proses pengkajian pertama yang
dilakukan melalui proses analitis. Penegakan diagnosis keperawatan harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain pernyataan yang jelas dan ringkas dari reaksi klien terhadap situasi atau
situasi tertentu, instruksi keperawatan yang spesifik dan akurat, dapat dilakukan oleh staf
keperawatan, dan klien. Dapat mencerminkan status kesehatan (Atmanto, Aggorowati, & Rofii,
2020).
Rencana perawatan (intervensi) adalah setiap rencana tindakan yang dilakukan pada
pasien untuk mengatasi masalah atau diagnosa yang dibuat pada pasien. Rencana perawatan
yang dikembangkan dengan baik mempromosikan perawatan lanjutan dari satu pengasuh ke
pengasuh lainnya. Ini memberi semua staf perawat kesempatan untuk memastikan perawatan
yang konsisten dan berkualitas (Firmansyah, et al., 2021). Beberapa langkah dalam
mengembangkan rencana asuhan keperawatan mencakup penentuan prioritas, penentuan

165
kriteria tujuan dan hasil yang diharapkan, penetapan intervensi keperawatan yang tepat, dan
pembuatan rencana asuhan keperawatan. (Koerniawan, Daeli, & Srimiyati, 2020).
Implementasi keperawatan ialah implementasi dari suatu rencana tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Pengasuh harus memiliki keterampilan kognitif (intelektual),
interpersonal, dan perilaku agar berhasil dalam memberikan perawatan sesuai dengan rencana
perawatan. Proses implementasi harus didasarkan pada kebutuhan pelanggan, penyebab lain
yang mengubah keperluan perawatan, strategi implementasi perawatan, dan aktivitas
komunikasi. (Koerniawan et al., 2020).
Evaluasi adalah penilaian respon pasien terhadap perilaku keperawatan yang telah
dilakukan oleh pemberi asuhan terhadap pasien dengan mengacu pada kriteria atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam pengembangan tujuan. Penilaian biasanya merupakan
hasil atau penilaian total yang dilakukan dengan membandingkan proses atau penilaian formatif
yang dilakukan setelah setiap tindakan diselesaikan dengan respon klien terhadap tujuan
tertentu dan tujuan umum yang telah ditetapkan sebelumnya. Itu dilakukan. (Supratti & Ashriady,
2018).

Hasil dan Pembahasan


1. Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas pasien
Nama : Ny.O
Umur : 70 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Suku Bangsa : Sunda, Indosensia
Gol. Darah :-
No.Cm : 449868
Tanggal Masuk : 03-01-2022
Tanggal Pengkajian : 05-01-2022
Diagnosa Medis : Snake Bit
Alamat : Jelegong, RT/RW 01/01, Cidolog, Ciamis
2) Identitas penanggungjawab pasien
Nama : Ny. R
Umur : 40 thn
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Pedidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : Sunda, Indonesia
Hubungan dgn klien : Adik
Alamat : Margajaya RT/RW. 01/02, Pamarican

166
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri kaki di bagian kanan
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada saat dilakukan pengkajian, pada Tanggal 05-01-2022, Klien mengatakan
mengeluh nyeri kaki bagian kanan karena di gigit ular yang rasanya seperti di bakar di
daerah gigitan ular, Dengan skala nyeri 4 dari 10 sejak 3 jam dari kejadian.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit keturunan

c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
Compos mentis, GCS : 15, E : 4, V : 5, M : 6
T : 150/80 mmHg
P : 76x/Menit
R : 19x/Menit
S : 36,1
SPO2 : 98%
2) Sistem Pernafasan
Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris, Frekuensi nafas lambat
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : Tidak ada suara tambahan
3) Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : bentuk dada simetris, konjungtiva ananemis, mukosa bibir lembab
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : tidak ada suara jantung tambahan
4) Sistem pencernaan
Inspeksi : bentuk abdomen simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : peristaltik usus
5) Sistem syaraf
Inspeksi : kesadaran compos mentis, GCS 15 E4 V5 M6, fungsi nervus cranial.
Nervus I (olfaktori) : fungsi penciuman baik, bisa membedakan aroma
Nervus II (optikus) : letak dua mata simetris, fungsi penglihatan baik
Nervus III (okulomotor) : bentuk simetris, pergerakan bola mata baik
Nervus IV (throklearis) : klien dapat menggerakan bola mata
Nervus V (trigeminus) : klien dapat menutup mata dan membuka mulut, klien
dapat mengunyah dan menelan
Nervus VI (abdusen) : klien dapat menggerakan bola mata kesamping dalam
posisi pandangan lurus kedepan
Nervus VII (fasialis) : bentuk bibir simetris, fungsi pengecapan baik dapat, dapat
membedakan rasa manis dan pahit

167
Nervus VIII (vestibulokohlearis) : pendengaran baik
Nervus IX (glosofaringeus): klien dapat membedakan rasa pahit, asam, manis pada
saat makan
Nervus X (vagus) : gerakan lidah baik, fungsi sensorik dan motorik baik
Nervus XI (accesoris) : gerakan kepala dan bahu normal
Nervus XII (hipoglosus) : klien dapat menggerakan lidahnya ke kiri, kanan, dalam
dan keluar
6) Sistem penglihatan
Inspeksi : bentuk mata simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
7) Sistem pendengaran
Inspeksi : bentuk telinga simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
8) Sistem perkemihan
Inspeksi : tidak terpasang kateter
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : tidak ada nyeri ketuk
9) Sistem muskuloskeletal
Inspeksi : ada hambatan pergerakan, tidak ada fraktur
Palpasi : ada nyeri tekan pada bagian kaki, kekuatan otot 5, klien dapat melakukan
gerak rentang penuh 5 5

5 5
10) Sistem endoktrin
Inspeksi : tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
11) Sistem integument
Inspeksi : keadaan kulit bersih, warna sawo matang, teksture kulit lembut, tidak ada
lesi, ada luka
Palpasi : turgor kulit kembali lambat
12) Sistem reproduksi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan

d. Pola aktivitas
No. Jenis pengkajian Sebelum sakit Sakit
1. -Makan
Frekuensi 3x1 3x1
Jenis Nasi Nasi
Porsi 1 porsi 1 porsi
Cara Mandiri Mandiri
Keluhan - -
-Minum
Frekuensi 1000 cc 1000 cc
Jenis Air putih Air putih
Cara Mandiri Mandiri
Keluhan - -

168
2. -BAB
Frekuensi 2x1 -
Konsistensi Padat -
Warna Kuning -
Bau Khas -
Cara Mandiri -
Keluhan - -
-BAK
Frekuensi 4x1 3x1
Warna Bening Bening
Bau Amoniak Amoniak
Cara Mandiri Mandiri
Keluhan - -
3. Malam 12 jam Tidak tidur
Siang 2 jam Tidak tidur
4. Gosok gigi - -
Ganti pakaian 2x1 1x1
Mandi 2x1 Lap
Cara Mandiri Mandiri
Keluhan - -

e. Data psikologis, sosial, dan spiritual


1) Data psikologis
a) Penampilan dan gaya diri
Klien tidak mampu dengan keadaannya
b) Status emosi
Klien sudah menerima kenyataan yang dialami
c) Harga diri
Klien tidak mengalami pengurangan harga diri
d) Ideal diri
Klien sangat mengharapkan kesembuhan dan bisa beraktivitas normal
e) Peran diri
Klien berperan diri sebagai sebatangkara
f) Identitas diri
Klien dapat mengenali dirinya dan orang sekitar
g) Kecemasan
Klien mulai bisa meminimalisir kecemasan
2) Data sosial
Klien dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
3) Data spiritual
Klien beragama Islam, selalu beribadah da berdoa

169
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan lab
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
Leukosit 15.1 4.4 – 11.3
Trombosit 149 150 – 450
Ureum 36 15 – 50
GDS 144 <140
Hemoglobin 14.7 12 – 15
Hematokrit 44 35 – 47
Eritrosit 5.0 4.1 – 5.1
Netrofil 86 50 – 70
Limposit 8 22 – 40
Monosit 6 2–8
MCV 87 80 – 96
MCH 29 26 – 33
MCHC 34 32 – 36
2) Terapi
a) DS + SABU = alergi
b) Dexamethason = 10
c) Ceftriaxson = 1x1 gr

2. Analisa data
No. Sypmtom Etiologi Problem
1. DS : Gigitan ular Nyeri akut b.d
- klien mengatakan sakit seperti dibakar traumatik jaringan
pada luka gigitan ulat Traumatik jaringan
DO :
T = 150/80 mmHg Terputusnya
P = 76 x/mnt kontinuitas jaringan
R = 19 x/mnt
S = 36.1o C Kerusakan saraf
SPO2 = 98 % perifer
- klien tampak meringis
Nyeri akut
2. DS : Nyeri digigit ular Gangguan pola tidur
- klien mengatakan tidak tidur b.d nyeri digigit ular
DO : Tidur terjaga karena
- klien tampak letih dan pucat nyeri

Gangguan pola tidur

170
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada pasien tuberkulosis dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Diagnosa Keperawatan


Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1 Nyeri akut b.d traumatik jaringan D.0077 172
2 Gangguan pola tidur b.d nyeri digigit ular D.0055 126
Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

4. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan

171
Tabel Intervensi Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Implementasi Evaluasi Paraf
1 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan 1. identifikasi sekala 1. Kaji ttv S = klien
traumatik jaringan tindakan keperawatan nyeri 2. Mengajarkan mengatakan nyeri
selama 1x24 jam. Nyeri 2. berikan posisi teknik nafas masih ada
klien teratasi dengan nyaman dalam O = KU : nyeri, infus
kriteria hasil : 3. ajarkan relaksasi 3. Kaji skala nyeri dextrose
- klien tampak rileks nafas dalam T : 150/80
- skala 1 (0 – 10) P : 76
R : 19
S : 36,.1
SPO2 : 98
- klien sedikit lebih
rileks
A = intervensi nyeri
akut belum teratasi
P = lanjutkan
intervensi
2 Gangguan pola Setelah dilakukan 1. kaji pola tidur 1. Terapi murotal S = klien
tidur b.d nyeri tindakan keperawatan 2. terapi murotal Al-Qur’an mengatakan lebih
digigit ular selama 1x24 jam. Al-Qur’an tenang dan nyaman
Diharapkan pola tidur O = klien nampak
klien kembali normal rileks
dengan kriteria hasil : A = intervensi
- pola tidur klien gangguan pola tidur
terpenuhi teratasi
P = pertahankan
intervensi

Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

172
Kesimpulan
Racun ular bisa bersifat hemotoksik, neurotoksik dan sitotoksik. Kasus patokan ular
membutuhkan penanganan yang cepat dan terjaga sehingga dapat meminimalisir resiko
kecacatan dan kematian.

Referensi
1. Adjie, A. P., & Setyawatiningsih, S. C. (2021). The Diversity and Conservation Status of Snakes
in Rawa Mekar Jaya, Riau, Indonesia. Jurnal Biodjati, 6(2), 246–254.
2. Agustin, H., Hidayat, D. R., & Supriadi, D. (2019). Anatomi Konflik Komunikasi dalam
Penanganan Neglected Tropical Disease di Media Sosial. Ultimacomm: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 11(1), 14–34.
3. Atmanto, A. P., Aggorowati, & Rofii, M. (2020). Efektifitas pedoman pendokumentasian
diagnosa dan intervensi keperawatan berbasis android terhadap peningkatan mutu
dokumentasi keperawatan di ruang rawat inap. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan
Masyarakat, 9, 83–92.
4. Cholifah, T. A., & Astuti, A. B. (2012). Kecepatan Penurunan Pembengkakan Luka Snake Bite
Dengan Insisi Dan Non Insisi. Interest: Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(2).
5. Firmansyah, A., Setiawan, H., & Ariyanto, H. (2021). Studi Kasus Implementasi Evidence-Based
Nursing: Water Tepid Sponge Bath Untuk Menurunkan Demam Pasien Tifoid. Viva Medika:
Jurnal Kesehatan, Kebidanan Dan Keperawatan, 14(02), 174–181.
6. Koerniawan, D., Daeli, N. E., & Srimiyati, S. (2020). Aplikasi Standar Proses Keperawatan:
Diagnosis, Outcome, dan Intervensi pada Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan
Silampari, 3(2), 739–751. https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1198
7. Kurniawan, N., Kadafi, A. M., Kurnianto, A. S., Ardiansyah, F., & Maharani, T. (2017).
Understanding Snake Bite Cases Pattern Related to Volcano-Seismic Activity: An Evidence in
Bondowoso, Indonesia. Biotropika: Journal of Tropical Biology, 5(3), 102–109.
8. Malik, A. A., Padilah, N. S., Firdaus, F. A., & Setiawan, H. (2021). Warm Compress on Lowering
Body Temperature Among Hyperthermia Patients: A Literature Review. International Journal
of Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 344–355.
9. Muthmainnah, M. (2020). Pengaruh Pemberian Pendidikan Tentang Penanganan Awal
Gigitan Ular Berbisa Terhadap Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin
Pada Remaja. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan, 11(2), 505–517.
10. Nopita, D., & Kamaluddin, R. (2021). Literature Review: The Effectiveness First Aid Pressure
Immobilization Bandages Technique of Snake Bite. Jurnal Studi Keperawatan, 2(2).
11. Pamungkas, Y. W., Adiwijaya, A., & Utama, D. Q. (2020). Klasifikasi Gambar Gigitan Ular
Menggunakan Regionprops dan Algoritma Decision Tree. Jurnal Sistem Komputer Dan
Informatika (JSON), 1(2), 69–76.
12. Rifai, A., & Cholifah, T. A. (2016). Perbedaan Antara Penanganan Luka Snake Bite dengan Insisi
dan Tanpa Insisi Terhadap Kecepatan Penurunan Pembengkakan Luka di RSUD Pacitan. (JKG)
Jurnal Keperawatan Global, 1(1), 36–44.
13. Rohman, F., Adiwijaya, A., & Utama, D. Q. (2019). Klasifikasi Gigitan Ular Menggunakan Local
Binary Pattern Dan Naïve Bayes. Jurnal Teknologia, 2(1).
14. Setiawan, H., Roslianti, E., & Firmansyah, A. (2020). Theory Development of Genetic

173
Counseling among Patient with Genetic Diseases. International Journal of Nursing Science and
Health Services, 3(6), 709–715. https://doi.org/http://doi.org.10.35654/ijnhs.v3i6.350
Abstract.
15. Supratti, & Ashriady. (2018). Pendokumentasian Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah
Sakit Umum Daerah Mamuju. Jurnal Kesehatan Manarang, 2(1), 44.
https://doi.org/10.33490/jkm.v2i1.13
16. Sumedi, A. (2018). Peranan Plasmafaresis pada Keracunan Bisa Ular Tipe Neurotoksik. Jurnal
Penelitian Keperawatan Medik, 1(1), 41–51.
17. Suryanda, A., Komala, R., & Chairunnisa, C. (2020). Pelatihan Manajemen Gigitan Ular Dan
Sikap Mahasiswa Terhadap Ular. Jurnal Pembelajaran Biologi: Kajian Biologi Dan
Pembelajarannya, 7(2), 43–52.
18. Ulina, J. M., Eka, N. G. A., & Yoche, M. M. (2020). Persepsi Perawat Tentang Melengkapi
Pengkajian Awal Di Satu Rumah Sakit Swasta Indonesia. Nursing Current Jurnal Keperawatan,
8(1), 71. https://doi.org/10.19166/nc.v8i1.2724
19. Yunanto, R. A., Wantiyah, W., & Afandi, Y. G. (2021). Description of Snakebite’s Prevention
Efforts Towards Farmers in Panti Sub-District. Nursing and Health Sciences Journal (NHSJ),
1(3), 184–192.
20. Yunanto, R., & Sulistyorini, L. (2021). Snakebite Cases in Agricultural Area of Jember: A
Descriptive Study of Snakebite Victims at Two Public Hospitals of Jember. Jurnal Kesehatan
Dr. Soebandi, 9(2), 106–114.

174

You might also like