Lompat ke isi

Abu-Mansur Daqiqi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Daqiqi
Lahirkr. 935
Tus, Khorasan, Kekaisaran Samaniyan
Meninggal977
GenreSyair Persia, epos nasional
Karya terkenalPenulisan cerita Gosytāsb dalam Syahnameh

Abu-Mansur Daqiqi (bahasa Persia: ابومصور داقیقی), lebih dikenal sebagai Daqiqi (دقیقی), adalah seorang penyair Persia yang sangat terkenal pada era Samaniyan. Ia adalah orang pertama yang berusaha menciptakan epos nasional Iran, Syahnameh, tapi tiba-tiba meninggal pada tahun 977 setelah hanya menyelesaikan 1.000 bait. Karyanya dilanjutkan oleh penyair lain sezaman dengannya, Firdausi, yang kelak menjadi tokoh paling berpengaruh dalam sastra Persia.

Nama pribadi Daqiqi adalah Muhammad bin Ahmad, sementara patroniminya adalah Abu-Mansur, sehingga nama lengkapnya menjadi Abu-Manṣur Muḥammad bin Ahmad Daqiqi.[1] Dalam sumber-sumber sejarah, ia biasanya dikenal dengan nama penanya, Daqiqi (yang berarti akurat dalam bahasa Arab dan Persia).

Latar belakang dan agama

[sunting | sunting sumber]

Daqiqi lahir sekitar tahun 932. Seperti kebanyakan bangsawan dan cendekiawan Iran lainnya dari awal Abad Pertengahan, Daqiqi kemungkinan besar dilahirkan dalam keluarga tuan tanah Iran (dehqan), atau setidaknya keturunan dari yang sekelas itu.[1] Pada masa itu, sastra Iran mengalami perkembangan besar, kebanyakan dalam persyairan. Dalam era Kekaisaran Samaniyan Iran, sastra Persia muncul di Transoxania dan secara resmi diakui. Kemajuan sastra Persia Baru yang Islami kemudian dimulai di Transoxiana dan Khorasan, bukan di Fars, daerah asal bangsa Persia.[2]

Tempat kelahiran Daqiqi masih diperdebatkan, antara kota Bukhara, Samarkand, Balkh, Marw, atau Tus. Yang disebutkan terakhir lebih mungkin.[3] Agamanya juga dipertentangkan di antara para sejarawan. Meskipun ia memiliki nama Muslim, "tidak dengan sendirinya merupakan bukti agama yang dipeluknya karena banyak cendekiawan dan pejabat Iran yang memeluk Islam dalam awal periode Islam untuk mempertahankan mata pencaharian mereka, tetapi secara diam-diam mempraktikkan Zoroastrianisme" (Tafazzoli).[1] Tus, yang diduga kota kelahirannya, pada waktu itu didominasi Syiah dan dalam masa pemerintahan Abu Mansur Muhammad telah menjadi pusat nasionalisme Iran. Menurut Encyclopædia Iranica, sangat mungkin bahwa Daqiqi seperti Firdausi, yang sesama penyair dan asli Tus, adalah penganut Islam Syiah. Banyak muslim Syiah bangga dengan warisan Iran kuno mereka, yang mengakibatkan mereka digambarkan sebagai Qaramitah dan Shu'ubiyah dan diklasifikasikan sebagai pengikut Majusi (Zoroaster) dan Zindiq (Maniisme). Beberapa kutipan dari bait-bait syair Daqiqi menunjukkan pemujaan yang kuat terhadap Zoroastrianisme, sehingga banyak sejarawan seperti Nöldeke dan Shahbazi mendukung teori bahwa Daqiqi pengikut Zoroaster.[1] Dalam salah satu bait Daqiqi, ia memuji agama Zoroaster sebagai satu dari empat hal terpenting baginya;[1]

Daqiqi telah memilih empat kualitas dari semua yang baik dan buruk di dunia:
Bibir berwarna rubi dan suara kecapi.
Anggur merah tua dan agama Zoroaster!

Ilustrasi Syahnameh abad ke-17 tentang Biderafsh membunuh Zarir, saudara Gosytāsb.

Daqiqi memulai kariernya di istana penguasa Muhtajid, Abu'l Muzaffar bin Muhammad di Chaghaniyan, kemudian diundang oleh penguasa Samaniyan (amir) Mansur I (m. 961–976) ke istananya.[4] Di bawah pemerintahan Samaniyan, legenda-legenda dan tradisi-tradisi heroik Iran kuno mendapat perhatian khusus, sehingga menginspirasi Daqiqi untuk menulis Syahnameh ("Hikayat Raja-Raja"), sebuah wiracarita panjang berdasarkan sejarah bangsa Iran.

Namun, Daqiqi dilaporkan dibunuh oleh budaknya pada tahun 977. Hanya sebagian kecil dari Syahnameh telah selesai, yaitu tentang konflik antara Gosytāsb dan Arjasp.[4][5] Pesatnya peningkatan perhatian terhadap sejarah Iran kuno membuat Firdausi melanjutkan karya Daqiqi. Firdausi menyelesaikan Syahnameh pada tahun 994, hanya beberapa tahun sebelum jatuhnya Kekaisaran Samaniyan. Ia kemudian menyelesaikan versi kedua Syahnameh pada tahun 1010 yang dipresentasikan kepada penguasa Ghaznawiyah, Sultan Mahmud (m. 998–1030). Tapi, karyanya tidak dihargai oleh Dinasti Ghaznawiyah seperti Dinasti Samaniyan.[4]

Bagian kecil Daqiqi, yang mencakup sekitar 1.000 bait, dipertahankan dalam Syahnameh. Teknik Daqiqi lebih kuno dibandingkan dengan Firdausi, dan juga "kering dan tanpa perumpamaan dan kesan sebagaimana yang ditemukan dalam syair Firdausi" (Khaleghi-Motlagh).[3] Disebutkan dalam Syahnameh oleh Firdausi, yang meskipun mengagumi Daqiqi, juga mengkritik gaya syair Daqiqi dan menganggapnya tidak pantas untuk epos nasional Iran.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Williams & Stewart 2016.
  2. ^ Litvinsky 1998, hlm. 97.
  3. ^ a b c Khaleghi-Motlagh 1993, hlm. 661–662.
  4. ^ a b c Litvinsky 1998, hlm. 98.
  5. ^ Frye 1975, hlm. 154.